Laman

Sabtu, 26 Februari 2011

BE NOT NO BODY*

Oleh Inna Junaenah**


Osamah Bin Laden !!! Siapa yang tidak mengenal sosok ini? Muslim atau bukan, masyarakat menengah ataupun elit, para politisi, pedagang, pelajar atau siapapun pasti pernah mengenal tentangnya. Kalangan muslim memandangnya sebagai seorang militan yang selain piawai dalam berperang. Dengan hartanya dia mendanai berbagai gerakan perjuangan Islam, terutama di Timur Tengah.

Lain halnya dengan Pemerintah Amerika dan sekutunya, Osamah dipandang sebagai ‘Teroris’. Bila ada yang memiliki kontak atau mengadakan jaringan dengannya akan turut ‘dicari’ oleh orang-orang Federal. Walaupun pandangan orang sejagat terhadap tokoh berkebangsaan Arab ini berbeda, semua bisa sepakat bahwa pejuang muslim kelas kakap ini adalah musuh nomor satu Pak Bush alias Amerika.

Terlepas dari pembicaraan tentang pemihakan, pandangan-pandangan tersebut kurang lebih merupakan sebagian dari ‘citra diri’ Osamah Bin Laden. Demikian pula, jika seseorang menyebut nama Inneke Koesherawati, terlintas bahwa dengan jilbab ‘dara’ cantik ini telah banyak menarik simpati kaum muslim. Maka seperti itulah gambaran citra diri Inneke Koesherawati. Konsep tentang citra diri ini memang sangat erat kaitannya dengan ilmu kejiwaan. Prinsipnya, setiap manusia berusaha memiliki citra diri yang terbaik.***

BE NOT NOBODY adalah suatu pernyataan yang sepele yang penulis temukan di judul album Vanessa Carlton. Secara bahasa, BE NOT NOBODY dapat diterjemahkan menjadi “jangan menjadi bukan siapa-siapa” atau dengan kata lain “Jadilah seseorang”, terhadapnya dapat dikembangkan menjadi sebuah konsep.

Misalnya, sebelum kita memutuskan akan mengarahkan diri seperti apa, ada baiknya mengenal dahulu potensi diri yang merupakan modal pembentuk diri. Secara umum potensi diri ini dapat disebutkan menjadi dua macam, yaitu potensi universal dan potensi relatif.

Pertama, potensi universal, yaitu potensi yang dimiliki oleh setiap manusia secara umum. Contohnya, naluri untuk meneruskan keturunan (Gharizah Nau’), naluri untuk mengakui suatu kekuatan di luar dirinya (Gharizah Dien) dan naluri untuk mempertahankan diri (Gharizah Baqa). Selain itu, manusia mempunyai alat penglihatan, pendengaran dan hati (Q.S.Al-A’raf, 7:179). Idealnya potensi ini akan terus ada selama manusia hidup.

Kedua, potensi relatif, yaitu yang tidak semua orang memilikinya dalam kualitas dan kuantitas yang sama. Potensi berupa minat dan bakat yang dimiliki seseorang, seperti kecenderungan terhadap seni, olah raga, menulis, berorasi dan lain-lain. Bisa juga berupa karakter pribadi yang bisa dibentuk, seperti penyantun, sabar, sikap dewasa dan lain-lain. Selain setiap orang bisa memiliki secara berbeda, potensi relatif memungkinkan untuk berubah dengan suatu proses.

Dengan adanya dua potensi ini, seseorang bisa membangun dirinya dengan memproses kualitas dimensi-dimensi berikut:

1. Sebagai manusia
Kalau kita bandingkan manusia dengan makhluk lain. Misal, malaikat yang tidak mempunyai nafsu, sehingga kecenderungan akan ketaannya senantiasa stabil, bersih terus-menerus. Makhluk lain, seperti tumbuhan, batu, air tidak mempunyai akal dan kehidupannya mengalir seperti itu adanya. Terhadapnya tidak ada pahala atau hukuman. Sedangkan, manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Dengan akal dan nafsunya, dia memiliki kehendak yang suatu saat nanti akan diperhitungkan. Sadar akan kapasitasnya, hendaknya manusia dapat menjaga kemuliaannya agar tidak jatuh seperti binatang atau lebih rendah lagi. “JIKA KITA MANUSIA, MAKA JADILAH MANUSIA”, walaupun iblis membenci keberadaan kita.

2. Sebagai muslim;
Naluri untuk mengakui suatu kekuatan yang lebih besar melahirkan kecenderungan untuk beragama. Islam !! Sebuah keyakinan yang tidak saja berbicara dan mengatur ritualitas, tetapi juga berbicara tentang suatu tatanan. Mulai dari urusan hati, fisik, keluarga, masyarakat, hingga tataran kenegaraan bahkan dunia, ditata di dalamnya. Konsep seperti ini tentu saja dapat membedakan seorang muslim dengan penganut keyakinan lain, karena Islam memiliki banyak hal yang khas, walaupun sikap adil terhadap keyakinan lain harus tetap dijaga. Isyhadu bi anna Muslimin, artinya ‘saksikanlah bahwa aku adalah muslim’, bukan sekedar simbolik. Sadar akan kapasitas seorang muslim, maka wajib memperbaharui kualitas keislamannya, pertanyakan keadaan diri tanpa menghilangkan sikap bersyukur, jangan puas dengan kualitas yang telah ada dan teruslah berproses. “JIKA KITA MUSLIM, MAKA JADILAH MUSLIM”, walaupun tidak semua orang suka pada Islam.

3. Sebagai diri sendiri
Pribadi atau individu adalah sosok yang unik. Sesuatu yang dimilikinya bisa jadi tidak dimiliki individu lain. Ada kekhasan tersendiri yang orang lain setujui atau tidak, orang kadang suka atau tidak, kadang sejalan dengan rencana orang lain atau berselisih paham. Di sinilah potensi relatif manusia berperan. Setelah pribadi dibentuk dengan kesadaran sebagai manusia serta diisi dengan keimanan dan keislaman, dia harus menentukan peranan dirinya.
Walaupun sifatnya relatif, kapasitas sebagai diri seperti inilah justru menjadikan kehidupan menjadi dinamis dan semarak. Tentukanlah peranan diri kita untuk dalam rangka menapaki dan membumikan keyakinan dan cita-cita, baik peranan diri di keluarga, atau masyarakat yang lebih luas.

“Saya ingin menjadi pelayan Tuhan…” tutur Ibu Hj.Luthfiah Sungkar yang kita kenal sebagai seorang Ustadzah. Beliau melanjutkan dengan mengatakan “…, maka sejak saat itulah saya ingin menjadi seorang motivator.” Atau ungkapan seorang pedagang loakan yang dikutip Tabloid MQ edisi Nopember 2002 yang mengatakan bahwa dirinya ingin mendekati Alloh dengan cara berdagang. Tidak salah pula kalau suatu saat kita mempunyai target fokus utama untuk melatih dan meningkatkan kualitas sabar di Bulan Ramadhan, sehingga membangun citra diri penyabar. “JIKA KITA MENJADI DIRI, MAKA JADILAH DIRI SENDIRI”.***

Kita menjadi “seseorang yang utuh” tentunnya dengan cara memproses ketiga dimensi tadi secara simultan. Memang, resikonya adalah tidak semua orang akan sepakat dengan apa yang telah kita bangun terhadap diri kita. Bahkan jika kita menjadi orang yang beradab atau biadab sekalipun, akan ada yang mengikuti atau memusuhi. Jangankan seorang penjahat, seorang nabi pun memiliki pengikut dan pembangkang.

Jika hanya berkutat pada kapasitas sebagai muslim tanpa menentukan peranan, maka seorang manusia mungkin hanya sekedar pemimpi. Begitu pula jika peranan, walaupun besar, tanpa diisi dengan suatu keyakinan maka hidup hanya akan menjadi keropos tanpa visi dan misi hidup. Hanya kelelahan fisik yang dialami, dan hanya akan menjadi robot pengikut yang gampang dihancurkan atau sekedar kepala-kepala yang gampang digiring tanpa mengerti apa yang dilakukannya.

* Untuk Mu adikku anak SMP yang sedang mencari jati diri
** Istriku tersayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...