Laman

Rabu, 16 Maret 2011

Tuntutan Kesegeraan Akan TPA


Hari Selasa, 15 Juni tahun lalu, dilakukan penandatanganan Kesepakatan Bersama Kerja Sama Pengelolaan Sampah di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) di Ruang Pendapa Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jalan Pattimura, Jakarta. Acara itu melibatkan empat Pemda Kota - Bekasi, Bogor, Tangerang dan Depok, dua Pemda Kabupaten - Bogor dan Tangerang, dan satu Pemda Provinsi DKI Jakarta.

Melalui penandatanganan itu, secara ringkas ketujuh pemda kota-kabupaten-provinsi bersepakat dua hal. Pertama, bekerja sama di bidang pengelolaan sampah guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Ini penting untuk digarisbawahi mengingat permasalahan sampah merupakan salah satu penyebab dominan bagi permasalahan tata ruang dan lingkungan.
Kedua, menindaklanjuti kesepakatan tersebut melalui pendirian sekretariat bersama (sekber) yang tujuan utamanya mendirikan Jabodetabek Waste Management Corporation (JWMC). Unit kerja sama usaha itu nantinya akan mendapat mandat untuk mengelola sebagian kegiatan persampahan di wilayah tersebut.
Terlepas dari ada tidaknya muatan lain, momen penandatanganan kerja sama tersebut setidaknya memiliki tiga makna strategis bagi pengelolaan sampah wilayah Jabodetabek. Pertama, penandatanganan itu menandai dimulainya era baru kerja sama melalui pendekatan kewilayahan atau regional di bidang persampahan, mengingat pengelolaan sampah pada dasarnya tidak mengenal batas administratif pemerintahan, bahkan sektor ataupun departemen.
Secara sederhana dapat dilukiskan seperti berikut. Orang Depok, Bogor, Bekasi atau Tangerang, yang notabene memiliki lahan yang relatif lebih luas dibanding Jakarta, nyampah siang hari di Jakarta selama jam kerja, sementara sebaliknya orang Jakarta yang memproduksi hampir setengah dari sampah Jabodetabek tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk membangun tempat penampugan akhir (TPA) sampah.
Tanpa adanya kerja sama di antara kota-kabupaten-provinsi yang sebenarnya saling tergantung dan mempengaruhi tersebut, permasalahan sampah akan menjadi makin kompleks dengan makin bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat produksi sampah.
Kedua, kesepakatan bersama tersebut merupakan salah satu exit-strategy jangka panjang dari pengelolaan sampah yang kurang efisien dan tidak efektif selama ini. Khususnya biaya investasi pembangunan stasiun peralihan antara (SPA) dan TPA serta operasionalnya akan menjadi lebih terjangkau dan ekonomis bila ditanggung bersama, di mana hal ini pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan keefektifan operasi serta kualitas.
Ketiga, komitmen itu menjadi langkah awal yang strategis menuju diterapkannya pengelolaan sampah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam sejarah pengelolaan sampah di dunia, pengelolaan sampah yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan terbukti berjalan melalui pendekatan service-profit-oriented dan 'terintegrasi'. Ambil contoh profesionalisme yang menjadi syarat berjalannya kedua pendekatan di atas, di antaranya melalui swastanisasi, di mana pemerintah baik pusat maupun daerah hanya berfungsi sebagai regulator, sedangkan pengelolanya diserahkan ke swasta melalui mekanisme tender yang transparan.**
Hari Senin, 13 Februari 2006 lalu, seyogyanya dilakukan penandatanganan namun, Kesepakatan Bersama Kerja Sama Pengelolaan Sampah dengan Umpan Jaya, salah satu anak perusahaan milik Malaysia, tertunda dengan keluarnya Kepres No 67 bulan November 2005. Acara itu melibatkan Pemda Jawa Barat dengan Pemerintahan Malaysia. Singkatnya, hubungan bilateral ini mempengaruhi hubungan regional yang senyatanya telah terungkapkan dalam pemaparan terdahulu. Berikut Petikan Wawancara dengan Kepala Badan Pengendali Kerusakan Lingkungan BPLHD Provinsi Jawa Barat, Dr. Iwan Wiraatmadja.

Apa yang melatarbelakangi niatan Provinsi Jawa Barat dalam menjalin kerjasama pihak Umpan Jaya?

Intinya kita ingin membuat sistem pengelolaan sampah bersama untuk metropolitan Bandung, karena saya yakin lambat laun ini akan menjadi sebuah kebutuhan. Kota Bandung adalah kota padat dan tidak mungkn ada lagi ada sebuah tempat pengolahan sampah yang representatif. Di sisi lain ada juga kota Cimahi dengan luas yang terbatas, lahannya juga terbatas. Kemudian bila Cimahi kita paksa untuk memiliki lahan sendiri kemudian kabupaten Bandung punya sendiri, dan Sumedang punya lahan sendiri, kan sayang. Secara efisiensi itu tidak efisien, karena dalam pengolahan sampah secara profesional itu sangat tidak profesional. Oleh karena itu alangkah efisiennya pengelolaan itu dilakukan secara bersama. Itu prinsipnya. Tapi setelah itu ada pekerjaan rumah lagi, yaitu siapa yang akan membiayainya., Nah  boleh saja dari masing-masing APBD di keluarkan, tapi kemampuannya berapa besar untuk membangun TPA yang ideal, katakanlah dari hitungan kita, untuk satu TPA saja itu memerlukan biaya 400 milyar. Nah, kita tahu untuk memenuhi pengelolaan sampah di kota Bandung ini mendesak, sedangkan TPA-TPA yang ada sudah habis masa pakainya. Mau tidak mau kita harus menggalang suatu pendanaan untuk suatu TPA yang ideal, dengan segera. Kan itu intinya. Kesegeraan!!!  Kalau seumpamanya APBD yang keluar setiap taunnya sangat terbatas, maka artinya kita mampu dan lebih baik kita mencari sumber pendanaan lain. Nah disini kita lakukan swastanisasi, lalu pihak privat mana yang siap mendanai sebesar itu. Kemudian yang berminat melakukan itu adalah Umpan Jaya, dari Malaysia.

Apakah Umpan Jaya ini keluar dari hasil Jabar Infrastructure Summit (JIS) Agustus lalu?

Tidak, mereka datang jauh sebelum JIS, mereka berminat dan kala itu sedang melakukan visibility study. Mereka hanya mengajukan dan tidak lebih dari pemrakarsa. Langsung ke Gebernur Jabar. Masalah masuk lelang atau tidak itu tergantung masalah interpretasi dari kerjasama ini, intinya kita lihat nanti. Tapi bagaimanapun juga dalam kondisi yang mendesak ini kan, harus kita sikapi bagaimana jalan keluarnya, siapa yang siap untuk menangani masalah ini,

Apa tugas yang dibebankan kepada mereka?

Secara umum Umpan Jaya akan menyususun infrastruktur TPA, mulai dari TPA. Karena yang menjadi masalah krusialnya adalah keberadaan penanganan TPA yang profesional. Dan kita coba mengerjasamakan dengan pihak swata yang memiliki pengalaman dibidang itu.
Rencana dalam sepeuluh tahun pertama ini kita masih menggunakan teknologi sanitary landfill. Banyak orang yang bekarta: “ah, sanitary landfill, teknologi lama”. Tapi, sebenarnya teknologi lama atau baru itu tergantung pendanaan. Nah teknologi ini bila ditinggkatkan pada teknologi yang lebih cangih, maka dananya pun akan mengikutinya. Di dalam sepuluh tahun pertama ini melihat pendapatan perkapita masyarakatnya. Kelihatannya pemda masih cocok pada pendanaan sanitary landfill. Setelah itu sepuluh tahun berikutnya teknologi ditingkatan pada sistem teknology waste to energi, yaitu pengolahan gas metan menjadi energi, dan commposting. Namun dalam sepeuluh tahun pertama pun program recycling dan commposting berjalan secara paralel. Karena program-program tersebut kalau dilaksana dengan baik akan menurunkan 20% jumlah buangan sampah,  dan 80% -nya mau ‘diapain’. Nah ini yang nantinya akan dikombinasikan. Tapi, bagaimanapun sebagus-bagusnya program recycling dan commposting ini tetap saja menghasil residu yang mesti ditangani. Jadi katakanlah masa perjanjian ini untuk 30 tahun dengan sumber pengulangan dan sebagainya mungkin menjadi 50 tahun. Artinya, selama 50 tahun ke depan kita tidak perlu mencari-cari TPA yang baru.

Bagaimana teknis pembagian kerjanya dan berapa besar tenaga kerja yang bisa tertampung?

Secara teknis, kemungkinan mix, karena satu sisi mereka sudah banyak pengalaman dalam menangani sampah tentu saja dari pada mereka membawa tenaga kerja dari sana lebih besar biaya, lebih baik tenaga kerjanya dari kita. Maka nantinya akan ada banyak tranning perkerjaan. Dan jumlah pekerja yang mungkin ditampung mungkin besar, namun kita belum secara pasti menghitung ke arah sana.

Keuntungan apa yang mereka dapatkan dari kerja sama ini?
 
Mungkn seperti bisnis biasa keuntungan bagi mereka adalah fitting fee, yaitu harga dari berapa ton yang dibuang pada fasilitas mereka.  

Apa isi perjanjian yang diajukan oleh mereka dan disepakati oleh Gubernur sebelum lahirnya Kepres?

Inti isi perjanjiannya, bahwa mereka berminat sebagai operator metropolitan

Lalu bagaimana dengan Kepres itu?

Yang jelas kita yang memiliki perjanjian sebelum keluarnya Kepres bulan November 2005 itu, jelas terhambat. Cuman kita harus coba lihat lagi yang sebelum keluarnya Kepres ini sebelum-sebelumnya kaitannya seperti apa.

Jadi kapan recana riil penandatangan MoU itu?

Untuk hal jadwal penandatanganan mungkin kita memperhatikan beberapa hal yang mesti diselesaikan secara administrasi. Kita, pihak Jabar inginnya semua tidak masalah, dan ingin beberapa hitungan-hitungan ini harus clear.

Bagaimana dengan penentuan lokasi apakah sudah ada kesepakatan?

Referensi mengenai penentuan lokasi kita juga mesti melalui prosedur tata ruang. Tata ruang metropolitasn Bandung bahwa daerah tersebut ada peruntukan TPA. Dan dalam hal ini Distarkim. Selama ini kita selalu melakukan kerjasama dalam menentukan lokasi TPA nantinya.              

Kembali ke masalah Kepres, menurut pandangan anda filosofi apa yang mendasari keluarnya Kepres ini?

Sebetulnya filosofi terbitnya Kepres tersebut itu untuk istilahnya lebih memastikan pada setia MoU yang di buat. Karena banyak sekali MoU yang istilahnya ‘never ending MoU’. Banyak Mou yang tidak selesai-selesai. Terutama penanganan sampah ini. Buat mou tapi tidak jelas akhirnya. Dari pada begitu lebih baik dibuka aja, dan keberadaan Kepres ini menegaskan supaya tidak terus mundur begitu.

Bagaimana sikap Jawa Barat sendiri?

Sikap Jabar sendiri, kalau terhadap kegiatan-kegiatan yang akan datang setelah Kepres ini keluar ada baiknya, meskipun ada kesan ‘ngejelimet’. Harus ada satu proses lelang. Tapi yang terkesan memperhambat investasi adalah yang seperti program Umpan Jaya di tengah-tengah ini, contoh lain seperti Mou pada JIS Agustus lalu, sebenarnya MoU itu adalah sebuah bentuk perjanjian minat belum pada pelaksanaannya, tapi dengan adanya Kepres ini semuanya terkesan mentah kembali. Jadi apa artinya Mou.

Lalu apa langkah-langkah Jawa Barat ke depan?

Pertama, Jabar akan berhati-hati, tidak mau melanggar aturan, namun di satu sisi kita pun terus berupanya terhadap MoU-MoU yang sifatnya mendapat kepercayaan dari investor yang hanya menunjukan minat saja, nantinya itu akan minta diperjelas dan dipertegas seperti apa dan sebesar apa. Kedua, kita melakukan konsultasi kepada Badan pemerintahan, Bappenas, Ekuien,PU, KLH namun demikian ini masih dalam proses. Karena ini merupakan sesuatu katakanlah biar itu Kepres bulan november 2005 berjalan, tapi dalam periode ini bagi Jawa Barat adalah periode transisi. Kita baru tahu ada aturan baru, boleh ‘dikatain’ tiga bulan lalu, ya adalah sedikit proses untuk lebih memfamiliarkannya.

Bagaimana tanggapan Umpan Jaya, apakah mereka mundur?

Itu tergantung dari kondisi teknis maupun non teknis yang perlu kita selesaikan dengan segera, pada prinsipnya mereka sudah siap dan bila penyiapannya sudah matang atau memenuhi persyaratan, ya udah tinggal jalan.

Apakah Konsep penanganan sampah Metropolitan Bandung sama dengan Konsep Jabodetabek?

Jabodetabek sendiri sama, dari sisi teknologi kelihatannya sama, terus sisi kerjasamanya. Bedanya, kalau Jabodetabek yang akan meluncur duluan ini, untuk kota bogor, depok, bekasi.
Mereka masih belum mendapatkan partner secara khusus, kan niatannya kerjasama  antar daerah se-Jabodetabek ini membentuk suatu korps diantara mereka sendiri. Mungkin PT yang dimiliki oleh ketiga daerah itu. Namun, apakah si PT itu akan menggandeng lagi sebuah perusahaaan lain untuk ikut mengelola, kayaknya belum sejauh itu. ***(p02)