Laman

Rabu, 16 Maret 2011

Sistem Informasi Ujung Tombak Penataan Ruang


Pewawancara: Hendy Hermawan
Fotografer: Dadang Supriatna
Narasumber: Prof. Daud Silalahi
Jabatan: Guru Besar Hukum Lingkungan,
Keahlian: Ahli Amdal, dan Ahli Hukum Penataan Ruang Nasional dan Internasional
Prestasi: Internasional, staf ahli khusus PBB (UNDP) untuk Asia
Topik: Menata Kembali Pelaksanaan Hukum Penataan Ruang
Alamat: Jl. Tubagus Ismail No. 12 Bandung
Telepon:
Judul: Sistem Informasi Unjung Tombak Penataan Ruang

***
 
”Hukum itu jangan susah-susah, walaupun bahasa hukumnya susah, tapi harus diterjemakan dalam bahasa yang mudah dimengerti, sehingga masyarakat itu ikut mengawasi dan memberi saran dengan mudah, itulah penyampaian sosialisasi informasi secara sederhana”. Sebuah pernyataan yang benar terucap oleg seorang pakar hukum lingkungan, Profesor Daud Silalahi. Mungkin track record beliau lah yang bisa menyamai Bapak Otto soemarwoto. Bersamanya, Daud Silalahi menjadi salah satu dari dua orang Indonesia yang secara keahliannya diakui dunia internasional dalam menentukan kesahihan sebuah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Laiknya seorang Profesor, Daud Silalahi tampil sederhana, namun tetap mumpuni. Ketika itu Tim Proses mengunjungi di kantor konsultannya di Tubagus Ismail, setelah beberapa minggu sebelumnya selalu menemui kegagalan, karena kesehatan jantung Daud Silalahi kambuh kembali. Namun anehnya, pada saat wawancara, Selasa pagi beberapa waktu lalu, kesan sakit tidak tampak di raut mukanya, seakan sirna oleh lantangnya suara dari mulutnya. Berikut sebuah wawancara dengan beliau, sebuah kuliah tentang penantaan ruang.

Menurut hemat Anda bagaimana mengurai permasalahan penataan ruang?

Pada mulanya pembangunan itu dikaitkan dengan masalah lingkungan, sebelum tata ruang itu menjadi menonjol perannya. Bila itu menjadi awalnya, maka pertanyaannya bagaimana kita menerjemahkan masalah lingkungan itu yang di satu-sisikan harus membahas masalah kemiskinan, inikan sisi-sisi yang harus wise juga kita melihatnya. Kalau kita maunya hitam putih ini susah juga. Jadi maksud saya untuk menjelaskan berapa sih perkembangan-perkembangan harus dimasukkan dalam pembangunan itu sendiri. Katakanlah kalau jaman dulu, kalau misalkan HPH kehutaan menjadi masalah ketika tidak sesuai dengan peruntukan kawasan itu kan akan menimbulkan berbagai masalah, juga masalah pertambangan, seberapa jauh ruang kawasan itu diberikan pada pengusaha sebagai kawasan pertambangan, sehingga masalah lingkungan tidak menimbulkan masalah pada masyarakat pada umumnya. Itu pada mulanya.

Apa yang menjadi tolak ukur masalah lingkungan tidak bermasalah pada masyarakat?

Tolak ukurnya melihat, berapa lingkungan itu dipertimbangkan ternyata tidak mudah kita ketahui bila tidak mengetahui karakter-karakter kondisi lokal, sebuah kawasan, dan di sini kita katakan kawasan munculah kata ruang. Jadi tergantung juga nanti kawasan tadi diperuntukkan untuk kegiatan apa. Kata peruntukan itu sudah menyangkut kata kawasan, maka kemudian muncullah sebuah pemikiran kalau begitu perlu dibuat Undang-undang tata ruang, supaya ada perencanaan dari awal, misalnya kawasan ini diperuntukan untuk permukiman, industri, seperti karawang dulunya lahan pertanian, sekarang menjadi kawasan industri, gimana ini, karena itu harus ada perencanaan yang diperuntukkan untuk kawasan apa dulu, supaya masalah lingkungan tidak pada tataran umum-umum saja, harus detail sesuai peruntukkannya, muncullah Undang-undang tata ruang tahun 1992. Nah, barangkali orang harus pahami tentang Undang-undang tata ruang dia lebih sifatnya itu mengendalikan, membuat balance, menciptakan sebuah harmoni, antara pemanfaatan di satu sisi dan pencegahan karena degradasi akibat pemanfaatan. Pasti ada masalah di situ. Karena kalau dibongkar lalu dibangun pasti ada masalah di situ. Sehingga pengendalian degradasi itu sampai pada tingkat-tingkat tertentu sehingga masih ada pada taha toleransi tidak sampai pada hal tidak benarlah. Jangan sampai untung besar tapi membawa keugiaan yang lebih besar.

Tata ruang menjadi pengendali bagaimana bentuk usaha riilnya?

Saya bilang, tata ruang adalah suatu bentuk usaha pengendalian peruntukan kawasan sehingga pemanfatan sebaik mungkin dan kerusakan fisik yang sedikit mungkin. Itu intinya tata ruang. Maka di sini ada dua hal, kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan lindung inilah yang menjadi ruang sejuk untuk mengendalikan banjir, longsor dsb, sedangkan budidaya itu adalah kawasan yang peruntukannya secara ekonomi, misalnya permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya. Nah ini dalam tata ruang, keberadaan dua kawasan ini harus balance. Kemudian tahapan kedua, terutama sebelum dan sesudah otonomi daerah, kalau kita bicara masalah tata ruang kan yang tahu peruntukan ruangnya itukan daerah. Nah oleh karena itu, kalau Undang-undang secara nasional itu membagi pendekatan hukumnya membuat ruangnya peruntukan, di sini bagaimana daerah itu membuat perizinannya, maka di sini daerah itu perlu membuat bagaimana peraturan daerahnya tentang rencana tata ruang wilayah atau perda tata ruang. Sebenarnya, secara nasional, hanya memberikan semacam pandangan makro saja, tapi menghitung berapa-berapanya itu diserahkan pada daerah. Namun yang perlu disini seperti saya katakan tadi adalah alat ukur dan kalau kita membicarakan alat ukur itu kita memerlukan data dan informasi. Oleh karena itu dalam perda itu dimuatlah informasi tentang air, permukimannya, sampah, pendidikannya, kesehatannya, nilai ekonominya, semua informasi ada di situ supaya tahu semua orang cara melakukan pembangunan. Itulah yang dikatakan dalam perda sebagai sistem informasi geografisnya. Maka di sini yang penting adalah informasinya. Jadi kalau mau minta izin, baca dulu informasinya. Karena informasi dalam perda itu harus dipahami betul, kalau enngak tidak ada ukuran membuat rusak dan tidak rusaknya, kondisi lapangannya bagaimana. Biasanya kita bagi dalam tiga informasi kondisi, pertama informasi kondisi ekonominya, sosial budayanya dan informasi lingkungan. Namun. Ketika informasi diketahui dan pembangunan ditetapkan, tetap menyimpan masalah, yaitu pembangunan itu bisa dikendalikan apa tidak? Harus ada instrumen pengendalian dan penegndalian ini bisa ngurangi ongkos kerusakan. Ini dasarnya, bahwa Undang-undang tata ruang itu sangat bergantung pada data dan informasi geografis itu sendiri. Kalau ini ’nggak bener’, enggak bisa, katakanlah ini sekian dan itu sekian, tapi berbeda dengan dilapangan kan susah. Sebelum keluarnya izin membangun, itu harus tahu konturnya, kemiringannya.

Sejauhmana sistem informasi berkembang dalam sosialisasi hukum penataan ruang, khususnya di Jawa Barat?

Hampir dapat disimpulkan secara umum dalam skala nasional dan daerah, informasi tentang hukum itu tdak berjalan dengan baik. Tidak ada instansi atau orang yang mampu menyampaikan apa sih yang sebenarnya boleh dan tidak boleh, hanya bilang ada peraturan, kalau begitu saja semua orang pun bisa, tapi apasih artinya peraturan. Misalkan, Oh  di Utara itu tidak boleh dibangun bangunan yang besar, harus yang kecil, tapi apa artinya, agar jelas. Jadi kalau jelas, masyarakat bisa memahami dan mengawasi.... Jadi maksud saya begini, bagaimanapun keputusan itu ada kelemahan dan kelebihannya, tapi ketika keputusan itu mulai dilakukan, masyarakat pun ikut mengawasi. Ketika mereka mengawasi berbekal data informasi geografis tadi, maka semua pihak sadar apabila banyak kelemahan yang terjadi kan bisa langsung diatasi, masa tidak bisa diatasi. Tapi yang sulit lagi adalah transparansi, apapun kegiatan yang akan dilakukan dan tidak boleh dilakukan itu harus lebih dulu tersampaikan, terutama masyarakat di sekitar kegiatan. Kebanyakan, setiap kegiatan apapun, hanya perusahaan dan pemerintahan yang tahu, masyarakat tidak. Tapi setelah terjadi baru masyarakat ikut terlibat dan mungkin bila sudah ada masalah, karena sifat spontan masyarakat bisa menyebabkan reaksi berlebihan, karena mereka sebelumnya nggak tahu, begitu. Jadi maksud saya, karena penyampaian hukum itu kurang begitu baik, hanya sebatas penyuluhan yang hanya dimengerti orang pintar saja, tidak kaya metoda. Tapi kalau saja semua kepentingan bisa terbuka, saya yakin bisa ditarik sebuah solusi dan masyarakat yang merasa ada kepentingan juga akan menyadari itu. Trasnparansi dan dialog inilah yang disebut full democratice liberate, yaitu setiap orang pendapatnya didengar, masalah bisa diterima atau tidak itu kan bisa dibicarakan. Ini masalah komunikasi.

Bagaimana tanggapan Anda tentang Undang-udang penataan ruang sekarang ini, apakah telah mengakomodir hal ini?

Sebenarnya Undang-undang penataan ruang itu terlalu umum. Di sana kalau kita membaca dari pasal 18 sampai 47 adalah ” Undang-undang Penataan ruang itu adalah arahan-arahan untuk provinsi, provinsi itu arahan-arahan daerah kabupaten dan kota”, kira-kira begitu bahasanya, baru di Kabupaten ditentukan indikator-indikator untuk investasi, perizinan. Di sini bahasa hukumnya asih umum-umum dan barang kali juga penerapan sanksi diserahkan pada sektor-sektor yang terkait lebih banyak ikut pada perencanaan, bukan semacam norma yang mengatur pada sebuah kegiatan. Sifat dari Undang-undang tata ruang itu sifatnya perintah, kalau anda hendak merencanakan nah ini aturan yang harus diikuti. Kalau anda mau melakukan kegiatan ini.. Nah Undang-undang ini di situ lagi posisinya. Salah satu yang mungkin bisa dikatakan kelemahan atau memang disengaja supaya nantinya diatur oleh masing-masing instrumen di daerah, mungkin diharapkan pemdalah yang membuat detailnya, makanya ada perda rencana tata ruang wilayah, dan di situ ada sanksinya. Sebenarnya sebagai contoh, kalau saya perhatikan perda kota Bandun No.2  tahun 2004, menyebutkan batas-batas dan peruntukan di setiap kawasannya dan di sana tercantum setidak-tidaknya seluruh kawasan Bandung 10% menjadi kawasan lindung, nah 10% itu dimana? Bisa diteliti lagi dan harus dipetakan. Jadi perlu di tata kembali. Kemudian di dalam Undang-undang Tata Ruang No. 24 tahun 1992, pasal 13 mengatakan rencana tata ruang itu bisa ditinjau kembali untuk mengikuti perkembangan, dirobah lagi untuk mengikuti kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan yang ada. Penafsiran saja sudah berbeda, paling tidak ada beberapa kemungkinan.

Apa solusi Anda?

Saya kira semestinya apapun rencananya harus dikomunikasikan dengan para pakar yang tahu bagaimana kondisi sebenarnya. Sehingga kemudian dapat dicerna dengan baik oleh masyarakat dan publikasi dari pemikiran itu juga harus baik. Jadi ada tanggapan, jangan terburu-buru, perlu ada tahapan-tahapan, tidak mungkin dalam waktu yang singkat. Kuncinya tadi, penyampaian informasi itu perlu, tentang peraturan tata ruang wilayah selalu ada infrmasi geografisnya. Apa informasinya? Misal, harus ada ruang hijau, apa artinya bagi masyarakat, kalau daerah Utara itu tepat resapan air, pasti porsi ruang hijau akan lebih besar, karena daerah resapan air, dan air akan hilang kalau yang hijaunya kurang. Nah hal pengertian seperti ini yang mesti terbentuk dalam masyarakat dan ikut mengawasi. Kemudian di daerah yang perbukitan tidak boleh dibangun bangunan yang bersemen dan tidak boleh padat untuk menjaga pembersihan udara, hal seperti itu perlu informasi. Maka mereka kan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya karena mereka pegang informasi. Jadi pengawasan itu tidak semata-mata pada pemerintah atau pada aparat penegak hukum, tapi masyarakat yang berperan besar dan itu menjadi salah satu konsep dasar Undang-undang tata ruang. Seperti pada peraturan pemerintah No 69 tahun 1999 tentang prosedur mekanisme peran serta masyarakat, yang menyatakan penyampaian informasi tata ruang melalui tata cara yang mudah ditangkap oleh masyarakat. Hukum itu jangan susah-susah, walaupun bahasa hukumnya susah, tapi harus diterjemakan dalam bahasa yang mudah dimengerti, sehingga masyarakat itu ikut mengawasi dan memberi saran dengan mudah, itulah yang saya katakan tadi penyampaian sosialisasi informasi secara sederhana. Mungkin seperti tadi, buatlah sebuah buku panduan lengkap tentang penataan ruang untuk pegangan buat dikonsumsi masyarakat, tidak sekedar penyuluhan-penyuluhan yang sebenarnya akan hilang bekasnya dalam beberapa bulan.... benarkan? Ha...ha... haha.** Hendy Hermawan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...