Laman

Rabu, 16 Maret 2011

PEMBANGUNAN (TAK) BERKELANJUTAN: Dampak Terhadap Perempuan Dan Anak-Anak

Oleh Inna Junaenah*

Kemarin, Senin, 20 Februari 2006, di Aula Kampus Universitas Padjadjaran diselenggarakan CERAMAH UMUM PADA ULANG TAHUN KE-80
Prof (Em.) OTTO SOEMARWOTO dengan tema PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: ANTARA KONSEP DAN REALITAS

Dalam Pengantar Prof. Otto Soemarwoto
Sekira ada kekeliruan memahami pemaparan Prof. Otto, mudah-mudahan ada pihak yang berkesempatan mengoreksi tulisan ini. Dalam ceramahnya, tokoh yang masih terlihat bersemangat dalam usianya ini mengawali dengan uraian tentang evolusi persoalan lingkungan hidup. Pengaruh kehdupan secara global mendorong perkembangan pemikiran tentang wacana persoalan lingkungan hidup. Sejak diselenggarakannya UN Conference on the Human Environment di Stokholm, tahun 1972, disadari bahwa persoalan lingkungan hidup tidak bisa terlepas dari proses pembangunan. Maka dari itu kemudian pada tahun 1983 PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED).  Konferensi yang populer di bidang lingkungan hidup ini yaitu yang dikenal dengan Konferensi Rio de Janeiro, tahunn 1992, yaitu UN Conference on Environment and Development. Konferensi yang mengusung konsep pembangunan berkelanjutan ini dikukuhkan juga dengan World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, tahun 2002. Dengan demikian, dengan terjadinya evolusi ini dapat dikatakan bahwa persoalan lingkungan hidup tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian terintegrasi dengan pembangunan.
WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka”. Syarat yang harus dipenuhi adalah peningkatan potensi produksi dengan  ramah lingkungan hidup dan menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil. Dalam pembangunan berkelanjutan, perlu pembangunan ekonomi yang harus dilakukan dengan ramah lingkungan hidup, merata dan adil. Konferensi Johannesburg menyebutkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Ketiganya harus diperhatikan secara berimbang dan terintegrasi.
Sayangnya di Indonesia, pembangunan tidak sedemikian ideal seperti yang dibicarakan di Konferensi. Konsep pembangunan tampaknya terpisah dari lingkungan hidup. Sehingga timbul persepsi bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan proses pembangunan. Akibat dari itu semua, sasaran pertumbuhan ekonomi lebih dominan, dan meminggirkan lingkungan hidup dan sosial.
Sekilas realitas lingkungan hidup biogeofisik yang sempat digambarkan di antaranya terdapat lahan kritis dalam dan luar hutan pada tahun 1969-1973 sekira 12,7 juta ha, dan pada tahun 1999-2000 adalah sekira 23,7 juta ha. Secara langsung ataupun tidak, kondisi ini turut menyebabkan terjadinya longsor, banjir dan erosi. Beberapa kejadian longsor terjadi di bohorok, jawa timur, purworejo, cililin, jember, banjarnegara. Kejadian banjir besar Jakarta menimbulkan kerugian Rp. 15 trilyun (ketua bappenas). Kejadian akibat erosi di Pulau Jawa saja diperkirakan Rp.500 milyard/tahun (Bank Dunia, 1990). Selain itu terjadi penurunan permukaan air tanah, infiltrasi air laut dan terjadi hujan asam. Lebih memungkinkan dari itu semua, pencemaran udara sudah tidak bisa dihindarkan lagi.
Dampak kesehatan atas pencemaran udara tidak bisa dikecualikan bagi semua orang, semua terkena. Gangguan system pernafasan yang cukup sering terjadi adalah penyakit asma dan kematian. Beberapa jenis zat kimia dipercaya dapat berpengaruh terhadap janin dan balita dengan potensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak. Balita dan anak-anak yang terkena resiko ini akan mengalami kesulitan belajar,    nerotik, dan penurunan IQ. Pada perempuan berpotensi mempengaruhi sistem reproduksi,   daur haid tak teratur, kenaikan risiko keguguran dan kelahiran bayi di bawah berat   normal. Pada laki-laki dewasa dapat mempengaruhi sistem reproduksi, penurunan kuantitas dan kualitas sperma, meningkatkan risiko kelahiran bayi cacad, dan risiko erection dysfunction. Sedangkan pada orang tua dapat mempercepat proses penuaan atau  memperpendek umur .
Realitas lingkungan hidup sosial-ekonomi sebagai akibat pembangunan yang tidak disertai dengan konsep berkelanjutan di antaranya adalah terjadinya bentrokan sosial di Maluku, Poso, Papua. Penyelundupan impor barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, daging, juga disertai penyelundupan ekspor bayi, TKI, kayu, BBM. Kondisi beberapa perusahaan yang banyak mem-PHK karyawannya signifikan berpengaruh terhadap angka pengangguran. Kondisi ini diperparah juga dengan beberapa kasus pembobolan bank, pendidikan carut-marut. Dengan beberapa kondisi sosial ekonomi tersebut Indonesia menjadi bahan hujatan dunia internasional sebagai negara sangat korup.
Tidak cukup dengan realitas sosial ekonomi seperti itu, Indonesia dilengkapi juga dengan realitas sosial-psikologis masyarakat yang merasa capai, frustasi, saling menyalahkan, main hakim sendiri, dan putus harapan.
 Keprihatinan Prof. Otto tersebut dengan bijak dikatakan bukan disebabkan semata-mata karena pemerintahan suatu rejim tertentu. Namun konsep pembangunan tak berkelanjutan ini memang sudah terjadi sejak tahun 70-an.*

Sekilas Potret Perempuan dan Anak-anak dalam Lingkungan Hidup
Jika pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh WCED seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa pembangunan tak berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan hidup generasi mendatang.
Dari ceramah Prof. Otto, menarik juga keprihatinan secara khusus terhadap kaum perempuan dan anak-anak. Banyak pandangan yang menyandarkan kualitas suatu bangsa pada kualitas perempuan. Kualitas pendidikan perempuan akan secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan anak-anak. Sejak berupa sebuah janin, hingga tumbuh kembangnya, anak-anak hampir tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Begitupun anak-anak. Kondisi sosiologis, pendidikan, kesehatan, bahkan perilaku suatu generasi dapat menjadi suatu gambaran bagaimana generasi tersebut kelak menjadi penggerak suatu bangsa. Tidak jarang kita jumpai ketika seorang anak sukses, yang pertama kali dipuji adalah kebesaran ayahnya. Namun ketika suatu saat anak-anak mengalami suatu penyakit, maka yang disoroti adalah hasil perawatan ibunya  atau mendapat masalah sehubungan dengan perilakunya, itulah hasil pendidikan dan asuhan ibunya.
Betapapun peran perempuan dan anak-anak begitu penting, kerapkali justru mereka merupakan kaum yang rentan untuk mendapat perlakuan tidak adil oleh pihak-pihak tertentu bahkan dari tanggung jawab negara. Perempuan yang menjadi buruh migran telah banyak menyumbangkan hasil jerih payahnya kepada kas Negara. Namun seberapa besar kepedulian dan perlindungan Negara ketika mereka mendapat perlakuan kekerasan dan pelecehan seksual di negeri tempat mereka bekerja.
Ketika kekerasan dalam rumah tangga terjadi, maka yang paling banyak menjadi korban bisaanya adalah kaum perempuan. Mereka menahan diri mereka untuk melapor, hanya karena pertimbangan nasib anak-anak, dan kehormatan rumah tangga, bukan semata-mata yang diprioritaskan adalah keselamatan diri mereka. Mereka lebih memilih untuk diam daripada beresiko tidak diberi nafkah yang akan berpengaruh kepada kelangsungan pendidikan anak-anaknya.
Perempuan, Anak-Anak, Dan Pencemaran Udara
Bandung adalah salah satu contoh terbaik bagaimana tingkat pencemaran udara. Udara di Kota Bandung yang sudah berwarna kecoklatan. Tidaklah mengherankan jika banyak balita di Kota Bandung mengalami gangguan kesehatan pada paru-paru, apakah karena asma, bronchitis, atau gangguan saluran pernapasan lain. Udara yang kita hirup di Kota Bandung hanya separuh dari system pernapasan. Kenaikan BBM turut mendorong masyarakat beralih dari angkot kepada pemilikan kendaraan bermotor, dan dengan seperti ini kita tidak bisa pula menghindarkan diri dari bertambahnnya tingkat pencemaran udara. Maka semakin pekatlah udara yang tetap berputar dalam cekungan Bandung. Perempuan hamil yang memiliki gangguan pernapasan jelas beresiko menularkan kepada janinnya. Perempuan yang sedang menyusui atau yang sehari-harinya mengasuh anak-anak, tidak dapat menghindar untuk tidak beresiko menularkan penyakit kepada anak-anak.
Perempuan, Anak-Anak, Dan Pencemaran Air
Air sangat berperan bagi pemeliharaan organ reproduksi perempuan, terutama ketika sedang haid, melahirkan, dan masa nifas. Air juga akrab dengan perempuan ketika sedang berada di dapur. Ketika terjadi masalah dengan air ledeng, kaum perempuan lah yang bisaanya lebih merasa dirugikan, karena mereka banyak berurusan langsung dengan air. Anak-anak seolah tidak pernah memusingkan di mana mereka akan bermain air. Ketika banjir dating, dengan tidak sadar akan resikonya, anak-anak seringkali bersuka ria menikmati air banjir yang sudah terlarut dengan benda-benda yang tidak perlu lagi ditebak. Kondisi banjir banyak dimanfaatkan oleh anak-anak untuk mencari upah dari kendaraan mogok yang mereka dorong. Akibatnya, tidak heran kalau penyakit kulit potensial lebih banyak dialami oleh anak-anak.
Perempuan, Anak-Anak, Dan Kemiskinan
Kondisi ekonomi yang memprihatinkan banyak mendorong perempuan untuk berperan ganda. Selain beberapa peran domestic yang tidak bisa ditinggalkan, kaum perempuan terpaksa juga harus mencari penghasilan. Beberapa perempuan yang penulis temukan, yang bertempat tinggal berdekatan, terpaksa memberikan salah satu anaknya kepada kerabat karena tidak sanggup dengan biaya hidup. Tidak usah banyak diceritakan ketika suatu keluarga dengan sengaja atau terpaksa memberdayakan anak-anaknya untuk mengemis atau ngamen di jalanan. Jaminan Negara terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tertuang dalam konstitusi tinggallah wacana di bangku sekolah.
perempuan, anak-anak, dan pendidikan
Apalagi yang akan diceritakan tentang perempuan, anak-anak dan pendidikan? Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mungkin sedikit dapat membantu sebagian para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya. Namun di sisi lain, kesejahteraan guru pun turut berpengaruh kepada kualitas pengajaran yang diberikan. Tidak usah diperpanjang tentang betapa kapitalisme telah mengubah paradigma “mencerdaskan bangsa” menjadi “melayani pasar”. Barangkali system pendidikan juga perlu mempertimbangkan alternative akses pendidikan bagi anak jalanan lebih ramah.
Perempuan, Anak-Anak, Dan Pembangunan
Siapa yang paling menikmati keberadaan pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bandung? Boleh saja dengan target pertumbuhan ekonomi tempat-tempat tersebut diimpikan dapat membuka lapangan pekerjaan. Hiruk pikuk Kota Bandung sebagai tujuan wisata belanja, yang setiap akhir pekannya lebih banyak didominasi oleh kendaraan berplat nomor B, barangkali tidak pernah serta merta mengundang perhatian para penikmat belanja itu untuk memikirkan dampak pencemaran udara, kemacetan, dan akibat lainnya. Setiap tempat perbelanjaan yang dibangun di Bandung seolah tidak pernah berpikir apakah kelak akan ada pembeli atau tidak. Yang menjadi persoalan bukanlah orientasi Kota Bandung menjadi Kota wisata belanja atau bukan, namun yang lebih penting adalah konsistensi setiap pembangunan fisik dengan RTRW, yang disertai evaluasi berkesinambungan terhadap AMDAL.
Dalam penataan kota, itikad Pemerintah Kota Bandung untuk lebih konsern terhadap keberadaan taman kota perlu didukung. Selain itu, perhatian dari masyarakat untuk mengevaluasi perlu tetap berjalan. Sedikit catatan yang berkaitan dengan penataan kota ini adalah perlu adanya peningkatan agar keberadaan suatu taman kota memenuhi syarat sebagai taman kota, bukan sekedar seonggok pemandangan berisi rumput, dan batu dilindungi pagar besi. Taman Kota dibutuhkan di antaranya sebagai tempat pemenuhan hak anak untuk bermain dan tumbuh kembang. Bahkan di belahan Negara Kanada, ukuran prestasi seorang major (setingkat bupati) di antaranya terletak pada keberadaan taman kota, dari kualitas dan kuantitasnya.

Lingkungan Hidup Perempuan dan Anak-anak sebagai HAM
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnnya pasal 9 ayat (3) menempatkan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari pemenuhan hak hidup. Sedangkan hak hidup adalah hal utama dan pertama dari hak asasi manusia. Secara tegas pasal 4 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.
Sebenarnya secara khusus Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM ini mengakui perlindungan terhadap wanita dan anak-anak. Pasal 45 Undang-Undang ini menegaskan pengakuannya terhadap hak wanita sebagai hak asasi manusia.Lebih lanjut dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengakui bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, anak-anak dan perempuan masih berada dalam posisi sebagai “benda” yang bisa dimiliki, bukan semata-mata sebagai kaum yang perlu dilindungi. Maka tidak heran kalau dalam kasus perdagangan manusia (trafficking) mereka merupakan objek.  Kaum ini adalah sasaran yang paling mudah terkena dampak dari suatu pembangunan yang kuraang memperhatikan aspek berkelanjutan.
Perempuan ibarat sebuah gerbang suatu peradaban. Dari mereka tempat lahirnya suatu generasi yang akan melanjutkan suatu sejarah manusia. Maka dari itu, hak-hak asasinya perlu mendapat perhatian yang serius. Begitupun anak-anak. Sebagimana yang diumpamakan oleh Kahlil Gibran, anak-anak adalah panah ke mana bangsa akan berjalan. Akan seperti apa suatu bangsa diinginkan kelak akan bergantung kepada sejauh mana para pemimpin bangsa menyediakan peri kehidupan bagi anak-anak.

Jadilah Pahlawan Bagi Mereka
Bukanlah suatu solusi jika hanya berpikir siapa “kambing hitam” yang harus terkena tanggung jawab. Walaupun bukan semata-mata sebuah “slogan” yang baru, perlu gerak  semua pihak untuk menjadi elemen-elemen perbaikan. Beberapa pihak yang setidaknya kita harapkan untuk berperan adalah berikut:
Politisi, kalangan wakil rakyat ini sejatinya merepresentasikan konstituennya. Ketika mereka sudah menjadi anggota legislatif, maka bukan lagi suara partai yang diusung. Selama ego partai yang tetap dipegang, sibuk sendiri dengan anggaran tunjangan bagi dirinya sendiri, jangan harap mereka bisa menelurkan regulasi yang berpihak pada rakyat, khususnya perempuan dan anak-anak. Bagi mereka, kaum perempuan dan anak-anak hanya menarik untuk dijadikan komoditas kampanye. Sementara mereka berkampanye, anak-anak pemulung ikut sibuk memungut botol-botol air mineral untuk dijual.
Pemda, dalam tataran yang lebih membumi merekalah yang lebih besar peranannya karena akan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Urusan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah begitu besar. Walaupun Pasal 13 memerinci urusan wajib dan urusan pilihan, namun dalam praktisnya begitu kompleks.
Pengusaha, pihak yang senantiasa memiliki kepentingan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap suatu kebijakan. Walaupun tampaknya mereka modern dan terpelajar, namun barangkali perlu dipikirkan juga upaya pengayaan bagi mereka pemahaman tentang hak asasi manusia. Hal ini penting agar setiap kegiatan yang mereka  jalankan senantiasa memperhatikan kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya.
LSM, lapisan mayarakat yang sering diharapkan menjadi wakil non formal rakyat ini perannya sangat besar. Melalui tangan-tangan mereka rakyat tidak merasa ada sekat sebagai suatu stratifikasi. Pemberdayaan dan diseminasi pemahaman bagi masyarakat perlu kreativitas mereka.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan oleh WCED perlu terus menerus disosialisasikan, agar keberlajutan peradaban manusia tetap ada.**





* Penulis adalah pengajar tetap Bagian Hukum Tata Negara dan Hukum tentang Hak Asasi Manusia Pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dan pegiat Jaringan Relawan Independen (JaRI) Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...