Laman

Jumat, 04 Maret 2011

Kemiskinan Dalam Perspektif Kearifan Lokal


‘Si Miskin’ Menanggulangi Kemiskinannya
Krisis Ekonomi semenjak tahun 1997 mau tidak mau menjadi pemicu utama ledakan jumlah masyarakat ekonomi rendah pada level tinggi. Kelaparan dan kekeringan melanda di seluruh penjuru bangsa Indonesia, karena alam hijau yang seyogianya menjadi sumber kehidupan bangsa tidak lagi bersahabat.
Kondisi ini tidak mungkin dilepaskan dari perhatian begitu saja. Semua pihak (pemerintah, stakeholder dan wakil masyarakat) wajib memikirkannya, mencarikan dan mengimplementasikan solusi terbaik dalam mengentaskan kemiskinan termasuk ekses kesenjangan sosial. Namun, masalah kebijakan pemerintah yang tidak mendukung pembangunan (khususnya pedesaan sebagai produsen kemiskinan masyarakat terbesar) masih saja menjadi penghalang utama. Walau demikian, ada beberapa pendekatan sebagai upaya jalan keluar dari kemiskinan masyarakat terutama di pedesaan. Caranya hanya dengan mengenali karakter kemiskinan (profil kemiskinan dalam perspektif kearifan lokal), sehingga diharapkan penetapan kebijakan dipandang tepat.**
Beraneka ragam teori telah berupaya mencari penjelasan mengapa terjadi proses pemiskinan. Secara garis besar, kemiskinan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah (Nasution, 1996). Profil kemiskinan jenis ini sering disebut sebagai kemiskinan buatan (man made poverty), karena secara langsung maupun tidak, berkaitan  dengan tatanan institusi yang diterapkan. Sedangkan kemiskinan alamiah lebih banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. 
Bila berpijak pada teori ekonomi memandang kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan kepemilikan, kebijakan yang bias ke perkotaan, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya perangsang untuk penanaman modal. Pijakan lainnya pada sisi sosio-antropologis yang menekankan adanya pengaruh budaya yang cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural).
Lipton dan Vyas (1981) mengajukan konsep ‘urban bias’ dalam menjelaskan mengapa terjadi kemiskinan di negara sedang berkembang, karena bias perkotaan. Menurut Lipton dan Vyas: “Small, interlocking urban elites – comprising mainly businessmen, politicians, bureaucrats, trade-union leaders and supporting staff of professionals, academics and intelectuals – can in a modern state substantially control the distribution of resources”.

Bias perkotaan ini dipercaya oleh Lipton mengandung antagonisme antara penduduk pedesaan dan perkotaan, ditandai dengan kemiskinan. Solusinya, negara sedang berkembang seharusnya mengarahkan kegiatan investasinya kepada sumberdaya utama yang mereka miliki – yakni pertanian yang padat karya (labour intensive). Menempatkan masyarakat desa sebagai “pengguna investasi terbatas” yang lebih responsif dari pada sektor perkotaan.
Informasi Profil Kemiskinan

Standar keberhasilan program pengentasan kemiskinan tergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikan siapa dan di mana “si miskin” tersebut berada. Informasi profil kemiskinan dapatlah menjawabnya dengan melihat dari karakteristik ekonominya, seperti sumber pendapatan, pola konsumsi/pengeluaran, tingkat beban tanggungan, karakteristik sosial-budaya dan demografinya, seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga sampai cara memperoleh air bersih dan sebagainya.

Sebagai contoh, permasalahan yang dihadapi penduduk miskin dari segmen ‘petani gurem’ bisa berakar dari asetnya yang justru terlalu kecil atau dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidak mendukung. Berbeda  pula profil kemiskinannya dengan pengrajin kecil, pengangguran atau buruh musiman. Maka, Identifikasi yang baik akan merumuskan kebijakan yang tepat.
Mengenali Perkembangan Kemiskinan

Selama periode 1970-1996 pola pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan stabilisasi harga, berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan secara drastis. Pada tahun 1976 jumlah penduduk miskin (JPM) menurun dari 54,2 juta jiwa menjadi 40,6 juta jiwa di tahun 1981. Kemudian penurunan grafik terjadi di tahun 1990 mencapai titik 27,2 juta jiwa dan 25,9 juta jiwa menjelang tahun1993.

Penurunan JPM di daerah pedesaan ternyata jauh lebih cepat dari JPM di daerah perkotaan. JPM daerah pedesaan menurun dari 44,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 31,3 juta jiwa di tahun 1981, kemudian menurun lagi menjadi 17,2 juta jiwa pada tahun 1993. Sementara itu JPM di daerah perkotaan berkurang dari 10 juta jiwa pada tahun 1971 menjadi 9,3 juta jiwa pada tahun 1981, kemudian turun sampai 8,7 juta jiwa pada tahun 1993. (lihat tabel 1.)
Dampak langsung dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 adalah meningkatnya JPM pada tahun 1999 menjadi 47,97 juta jiwa (15,64 juta jiwa di perkotaan dan 32,33 juta jiwa di perdesaan). Persentase JPM pada tahun 1999 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1978 dan 1980 atau mengalami kemunduran 15 tahun dengan daerah penyebaran terbesar berada di Jawa-Bali (59%), 16% di Sumatera dan 25% tersebar di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. (lihat tabel 2.)

Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan (TK3)


Tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index) di perdesaan lebih besar dibanding perkotaan. Data BPS dengan standar 1998, menunjukkan bahwa kedalaman kemiskinan TK3 di perkotaan meningkat dari 2,548 di tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 4,351 di tahun1998 (saat krisis) dan di perdesaan meningkat dari 0,709 menjadi 1,267. Sedangkan Indeks keparahan di perkotaan meningkat dari 3,529 menjadi 5,005 dan di perdesaan dari 0,956 menjadi 1,475. Meskipun terjadi perbaikan pada Agustus 1999, tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan masih belum kembali ke posisi sebelum krisis. (lihat tabel 3.)

Dilihat dari aspek regional, TK3 di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya ternyata lebih besar dari Jawa-Bali dan Sumatera. Hal ini menyiratkan bahwa tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial yang terjadi di masing-masing wilayah berbeda satu sama lain. (lihat tabel 4.)
Karakteristik Rumah Tangga Miskin (RTM)

Pada tahun 1999 menunjukkan sebagian besar dari rumah tangga miskin (RTM) mempunyai 4,9 anggota rumah tangga, sedangkan RTM di daerah perkotaan rata‑rata mempunyai 5,1 anggota rumah tangga. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban RTM di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup ternyata lebih besar daripada RTM di daerah perdesaan.
Ciri lain yang melekat pada RTM adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang rendah. RTM di perdesaan sekitar 72,01% dipimpin oleh kepala rumah tangga (KRT) yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin oleh KRT yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumah tangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02% RTM di perkotaan dipimpin oleh KRT yang tidak tamat SD dan 31,38% dipimpin oleh KRT berpendidikan SD. Ciri ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala RTM di perkotaan lebih tinggi dibanding kepala RTM di perdesaan. (lihat tabel 5.)

Sekitar 75,7% RTM di perde­saan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Lebih dari 75% RTM di perkotaan memperoleh penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0% RTM mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumah tangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumah tangga petani. Kegiatan ekonomi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula bagi rumah tangga miskin di perkotaan. (lihat tabel 6.)
Kesimpulan

Mencermati profil kemiskinan di Indonesia memerlukan strategi besar yang bersifat holistik, sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan dapat dilakukan dengan baik. Sebagai dasar utamanya adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah rakyat dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Maka, transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif dan transparan penyelenggaraan pemerintahan dapat terwujud.

Seyogianya masalah lain, seperti hutang pemerintah harus menyentuh rasa keadilan, tidak begitu saja di bebankan kepada rakyat yang secara nyata mayoritas miskin. Oleh karenanya, upaya permintaan debt relief dari para donor perlu ditempuh sebagai upaya alternatif untuk lebih mempercepat pengurangan kemiskinan. Sehingga, pembentukan Interest Group dalam melakukan mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi dan koordinasi  mengembangkan diskursus setara terhadap semua stakeholders tentang perlunya menjadikan ‘si miskin’ menjadi aktor utama dalam menanggulangi kemiskinannya.***

2 komentar:

  1. semoga kemiskinan lenyap di muka bumi...

    BalasHapus
  2. kadang bingung juga melihat orang miskin.
    mengaku miskin dan mengemis di jalanan, eeeh dikantongnya ada hape.

    mengaku miskin dengan rumah berlantai tanah, tapi sanggup memiliki motor yang tidak produktif.

    hmmmm....

    BalasHapus

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...