Laman

Jumat, 04 Maret 2011

“Bike to Work” Sebuah Usaha Merawat Lingkungan Murah, Sehat, dan Bebas Polutan


Oleh Hendy Hermawan*

“Kring, kring, kring....kring!” Suara yang tak asing. Pasti itu bunyi bel sepeda, riuhan suara yang bisa menggiring ingatan kita pada kenangan kenikmatan bersepeda... dulu. Saat pergi ke kampus, pergi ke pasar sampai saat berkunjung pada ‘tambatan hati’.  Ketika itu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan sepeda.

Seiring dengan perjalanan waktu dan percepatan aktivitas masyarakat perkotaan, menyebabkan popularitas sepeda semakin pudar, tersisihkan oleh ‘saudara hitech-nya’ sepeda motor yang lebih memiliki mobilitas tinggi. Memang secara logis, akibat desakan kebutuhan ekonomi yang semakin sulit, memilih sepeda motor sebagai sarana transportasi dapat dimaklumi, itu pun bila dibandingkan dengan menggunakan angkutan umum atau sejenisnya. Naiknya harga BBM menjadi puncak dari segala pemicu yang ada, selain tidak tertatanya sistem wilayah kerja masyarakat kota.

Terlepas dari itu semua, apakah pada saat bersamaan kita dengan sadar memikirkan dampak lain yang lebih besar, semisal peningkatan polutan udara kota  yang luar biasa. Atau bahkan semakin menjauhkan kita pada penyuksesan program penataan perkotaan berbasis lingkungan dan membiaskan program penghematan energi. Apakah tidak lebih baik apabila kita kembali pada transportasi yang lebih murah, tanpa polutan dan lebih sehat? Maka, kembali bersepeda, bike to work mengapa tidak?**

Sekiranya, pemikiran tersebut terpicu kembali dari obrolan santai dengan salah satu inspirator ‘kota kembang’, ‘Abah’ Iwan Abdulrachman. Beliau menceritakan bagaimana pengalamannya ketika sedang berkunjung ke negara Kangguru, Australia. Sebuah negara ketiga termakmur di dunia, masyarakatnya baik kaum tua maupun muda, sangat senang mengendarai sepeda dan juga berjalan kaki. Mereka, kata Abah, sangat sadar bahwa dengan bersepeda dan berjalan kaki, mereka akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Yakni, terjaganya kebersihan udara di negara Kanguru tersebut dan juga sekaligus menyehatkan jiwa dan jasmani. Di samping itu pula menurut penuturan seorang ahli planologi, Johan Silas, keberadaan jenis transportasi yang berwawasan lingkungan digariskan dalam konsep Clean and Green.

Penulis merujuk sekilas sebuah penjelasannya yang menjadi pangkal turunan pemikian pada kembali bersepeda. Dalam penjelasan itu dipaparkan bahwa konsep Clean and Green adalah sebuah alat (means) untuk mencapai tujuan tertentu (ends). Memang sudah menjadi kebiasaan dan mungkin lebih mudah untuk menaruh perhatian (berlebihan) terhadap alat daripada susah-susah memikirkan tujuan apa yang hendak dicapai. Dalam penjelasnnya ia menuturkan, bagi dunia maju dan terkait dengan sistem globalisasi, penegasan tentang tujuan tidak dapat dihindari lagi. Sebelum sampai pada tujuan spesifik yang harus dicapai, beberapa tujuan umum lebih dahulu perlu dipahami. Masyarakat dunia jauh sebelumnya sudah menaruh perhatian terhadap dunia yang makin mengota dan puncaknya terjadi menjelang penutupan abad lalu. Pada waktu itu dunia mampu menghasilkan The Habitat Agenda yang antara lain membahas tentang sustainable human settlements development in an urbanizing world (Istanbul 6/1996). Kata kuncinya adalah berkelanjutan dan berkekotaan (urbanized).      

Kurang lebih 20 tahun sebelum pergantian abad, masyarakat dunia sudah mulai serius memikirkan apa dan bagaimana keadaan saat terjadi pergantian abad. Untuk itu Rotterdam oleh the European Cultural Foundation pada tahun 1971 (sebelum ada KTT Lingkungan Hidup dan Pembangunan 1972 di Stockholm) diselenggarakan kongres yang dihadiri tidak kurang dari 600 ahli dari penjuru dunia dan menghasilkan laporan Citizens and City in the Year 2000. Pada waktu itu tahun 2000 oleh masyarakat dunia dianggap magic moment sesuai perkiraan bahwa pembangunan ekonomi dunia mencapai puncaknya dan mampu memberi kesejahteraan tinggi serta hampir merata di seluruh dunia. Fokus sentral dari keberhasilan tersebut ada pada manusianya. Saat dunia kini berada di abad XXI, perlu untuk melihat kembali secara kritis bagaimana hasil prediksi yang dilakukan sekitar tiga puluh tahun sebelum untuk dibandingkan dengan kenyataan yang benar terjadi di tahun 2000. Ternyata dunia berhasil mencapai tidak berbeda jauh dari yang dicita-citakan, namun masih terpusat di Negara-negara maju. (Silas : 2003)

Oleh karena itu melihat kota di manapun adanya, harus dipahami pula sebagai sesuatu yang hidup dan melakukan proses metabolisme. Untuk itu beberapa prinsip lain perlu diperhatikan agar konsep lingkungan kekotaan yang baik disadari. Kota dalam hal ini harus diperlakukan sebagai organisme, sirkuler dan sifatnya biogenic.

Kota bukan sebuah mesin, tetapi sesuatu yang hidup, sebuah organisme seperti tubuh manusia yang mengalami metabolisme dan perlu mendapat “makanan” sehat agar dapat melakukan berbagai tugas yang dibebankan, serta mengganti bagian atau elemen tubuh yang aus atau rusak. Sebagai organisme kota dapat sakit, keracunan atau mengalami kecelakaan. Sehingga kota harus dirawat seperti merawat tubuh sendiri. Seperti tubuh manusia, kota dapat mempunyai kebiasaan yang membiarkan dirinya sakit dengan mengkonsumsi alkohol, merokok, pakai narkoba hingga kebiasaan begadang yang sia-sia. Berbeda dengan tubuh manusia, untuk menjaga kota yang sehat harus melibatkan sebagian terbesar atau bahkan seluruh warganya. Ini hanya dapat terjadi bila penduduk menjadi pemilik dari kotanya, bukan tergantung dari arahan penguasa atau pengusaha yang saat ini masih berlaku di hampir semua kota Indonesia. Masyarakat harus ditarik dari tempatnya di bayang-bayang ke fokus pembangunan kotanya dengan hak dan tanggung jawab penuh.
Salah satu syarat agar kota sehat adalah bila metabolisme berlangsung sirkuler, bukan linier. Artinya, apapun yang dikonsumsi kota harus dipakai berulang-ulang (daur ulang) sebanyak dan selama mungkin, seperti saputangan. Sebaliknya kertas tisu hanya sekali pakai lalu dibuang. Konsep biocidic memakai dan mengambil berbagai sumberdaya dari alam secara hemat namun tanpa menggantinya. Sedang prinsip biogenic bersikap apapun yang diambil dari alam selalu diusahakan untuk diganti atau diperbaiki serta yang diambil dipakai se-efisien mungkin. Tindakan yang dilakukan terhadap alam dan apapun yang diambil untuk dijadikan bagian kota (man-made) diusahakan berada dan hubungan secara serasi dan seimbang dengan alam yang menjadi sumbernya. Cita-cita kota ini terwujud, bila kota dimiliki aktif oleh seluruh warganya secara bersama, beradab dan adil.**

Kembali mengendarai sepeda adalah sebuah usaha dalam mendukung pola pembentukan kota yang hidup laiknya organisme dalam tubuh. Ada sebuah rasa kepemilikan yang besar dari setiap lapisan masyarakat dan penguasa terhadap kondisi lingkungan kotanya.  Dapat di buktikan bahwa sepeda menjadi alat untuk menyembuhkan kadar polutan kota besar. Sepeda pun dapat memberikan ruang hirup bagi masyarakat kota secara lebih luas. Dipercaya kota dapat memperpanjang masa ruang hirup yang sehat kota Bandung yang sekarang terprediksi hanya 55 hari dalam satu tahun, sisanya (310 hari) menghirup udara kotor. (Mubiar, DPKLTS: 2005)

Idenya sangat sederhana, cukup dengan menggugah para mahasiswa yang kost disekitar kampus untuk mengantikan alat transportasinya dengan sepeda. Kira-kira dibutuhkan sebanyak 10.000 sukarelawan mahasiswa yang setiap harinya pergi kuliah dengan menggunakan sepeda. Atau secara teknis menurut Prof. Otto Sumarwoto, untuk jarak tempuh tujuan dari tempat tinggal yang berjarak 0 sampai 5 km, beliau menyarankan untuk berjalan kaki. Sedangkan untuk jarak tempuh dari 0 sampai 10 km menggunakan sepeda.  Sehingga bila menggunakan hitungan matematis, diambil beberapa titik daerah dengan panjang radius 10 km, dan masyarakatnya pengendara sepeda, sesungguhnya telah melakukan mengurangi polutan udara minimal dalam radius 20 km. Maka, berganti alat transportasi kepada sepeda, mengapa tidak? Saya kira hal ini menjadi wujud nyata dari pola pembangunan yang berkelanjutan dan berkekotaan. Wallahu’alam.***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...