Laman

Jumat, 04 Maret 2011

Dilema Cekungan Bandung

Bandung diLingkung Ku Gunung, Bandung Heurin Ku Tangtung,
Bandung Ulah Sok Bingung, Supaya Najung Pulih ka Kawasan Lindung
Silih Asah, Silih Asuh, Silih Asih, Siliwangi

Oleh Hendy Hermawan

SEBUAH pantun dan siloka terucap lancar dari seorang pakar Planologi, Dr. Mubiar. Nama ini memang tak asing bagi kita para pemerhati dan pelaksana penataan ruang Jawa Barat. Ucapan beliau kali ini bukan sembarang terucap, tapi tersampaikan dalam sebuah lokakarya yang diadakan di Universitas Islam Bandung beberapa waktu lalu (25/10). Lokakarya ini mengusung sebuah tema membangun sebuah kelembagaan dalam rangka penataan ruang di Cekungan Bandung.

Dalam lokakarya tersebut, bermunculan beberapa pandangan dari beberapa pembicara pada waktu itu, namun pandangan mereka seakan senada, menuntut adanya sebuah kelembagaan yang mengatur penataan ruang di cekungan Bandung. Hal ini tidak semata-mata muncul, tidak lain disebabkan kondisi kawasan ini sudah menjadi kawasan yang serba sulit. Penanganan ini sudah tidak bisa dibiarkan dan penyelesaiannya pun tidak mungkin dibereskan hanya dengan pelaturan, melainkan dengan sebuah lembaga independen berasal dari rakyat dengan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah. Setidaknya itu yang terungkap dari pemaparan para peserta lokakarya.

Kondisi Cekungan Bandung semakin parah, tercatat sungai sungai besar Jabar Barat sakit parah dan semua sungai kecil sekarat. “DAS Citanduy memiliki debit maksimal 1.325 m3/det dan debit minimal 0,9 m3/det, idealnya debit maksimal dan minimalnya sebesar 20 m3/det. Kemudian Sungai Citarum sekarang telah penuh dengan sampah dengan tingkat pencemarannya mencapai 47,1%. Selain itu terdapat 169.635 Ha kawasan Lindung di hulu Cimanuk, krisis dengan tingkat erosi mencapai 8,5 juta ton/ tahun,” kata Mubiar.

Sehingga menurutnya hal menyebabkan potensi sumber daya air di Jabar pada musim hujan terdapat air berlebih mencapai 81 miyar m3/tahun yang menyebabkan air tidak terkendali dan berpotensi terjadi banjir dan longsor sepanjang musim. Sedangkan di musim kemarau ketersediaan air hanya 8 m3/tahun, mengakibatkan kekurangan air bersih alias kekeringan. “Bila dihitung secara rasional penduduk kota Bandung selama 310 hari/tahun  hidup dalam kondisi tidak sehat, maka hanya 55 hari saja kita bisa menghirup udara yang sedikit polutasinya,” katanya. Hal ini menurutnya menyebabkan kecenderungan hujan di kota Bandung semakin asam. Artinya, udara kota ini telah tercemar, sehingga sangat mendesak kebutuhan atas keberadaan hutan-hutan kota.

Kerusakan ini tidak lebih karena perbukitan sudah tidak bisa berfungsi sebagai pelindung, ditampah dengan banyaknya alih fungsi kawasan lindung di hulu Sub DAS tidak terkendali. “Terbukti dengan Lembang sudah semakin menjadi kawasan budidaya yang tidak terkendali,” katanya. Terparah, demikian Mubiar mengatakannya, adalah pengurasakan ini telah sampai pada rusaknya kearifan budaya lokal. “Kini bermunculan budaya impor di Bandung Utara, ada yang membuat benteng Spayol, Patung Naga ala Cina dan Joglo-joglo Jawa  bermunculan. Hal ini menunjukkan lunturnya budaya karuhun alias Jati Kasilih Ku Junti,” jelasnya.

Disamping itu menurut aktivis DPKLTS ini, Struktur Ruang Jabar 2010 bisa kontroversi. Ia menyebutkan bahwa sebenarnya di Jabar ini senyatanya tidak ada kawasan andalan, jadi sangat salah bila dalam struktur ruang Jabar ini diistilahkan kawasan andalan. “Tidak ada yang bisa diandalkan, semuanya kritis akibat banyaknya kawasan industri, dan yang memungkinkan ada adalah kawasan tertentu, itu pun siapa yang mentukan?” tanyanya. Ia menjelaskan bagaimana itu bisa kontroversi, ia memisalkan kawasan andalan cekungan Bandung yang dijadikan pusat kegiatan Nasional. Ia memperingatkan, bahwa bisa jadi kawasan tersebut menjadi kawasan budidaya yang tak terkendali. Namun bila ingin menjadi kawasan andalan, kawasan tersebut harus berbasis kawasan lindung yang handal, seperti Singapura yang telah menjadi Jugle town, permukimannya menjadi enclave dan seharusnya cekungan Bandung harus bervisi Jungle Basin.

Kondisi peraturan perundangan tentang Hutan Kota, yaitu termuat dalam UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan Pasal 9, ayat 1, menyebutkan bahwa Untuk pengaturan iklim mikro estetika dan resapan air, maka di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Kemudian diperjelas dengan PP No. 63/ 2002 tanggal 12 November 2002 tentang Hutan Kota, Pasal 8, ayat 3 yang menyebutkan 1) Luas hutan kota dalam hamparan kompak paling sedikit 0,25 Ha. 2) Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan. “Sehingga bila ditidak lanjuti benar-benar serius, potensi hijau di kota Bandung ini bisa mencapai 8.338,48 Ha, itu hampir separuh kota menjadi hijau dan itu tidak lama hanya tiga sampai lima tahun,” katanya.

Mengacu pada deklarasi Quebec tentang ekowisata, Mubiar mengatakan, deklarsi mengeluarkan empat prinsip utama: yaitu 1) Mendorong secara aktif upaya konservasi alam dan budaya, 2) Melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pengembangan dan implementasi untuk membrikan kontribusi kesejahteraan ekonomi kepada masyarakat, 3) Sistem Informasi yang dapat diakses melalui jaringan dunia tentang karakteristik dan keunikan alam dan budaya lokal, 4) Jaminan keamanan dan kemudahan mencapai tujuan ekowisata. “Prinsip ini yang lalu diterapkan di beberapa negara di Eropa, terutama di Inggris, mereka tidak membangun hotel, atau tempat makan, hanya membiarkan pohon-pohon tumbuh liar begitu saja dan itu dapat melonjakkan jumlah wisatawan,” katanya. Ia menyebutkan bahwa di Indonesia pun telah dicoba sebuah kawasan lindung, tepatnya di daerah Wanagama, Gunung Kidul. “Dulu daerahnya bebatuan, namun sekarang dalam jangka waktu tiga tahun telah menjadi hutan lebat,” katanya kembali.

Ia menegaskan bahwa usaha itu tidak cukup dengan dibuatnya sebuah peraturan yang mengikat, tapi perlu dibentuk sebuah lembaga yang memungkinkan memfokuskan diri dalam penataan ruang ini. “Lembaga ini muncul dari arus bawah, masyarakat, keberadaan pemerintah hanya memayungi lembaga ini,” katanya. Seperti dijelaskannya menyebutkan bahwa pemerintah hanya melindungi sistem pembangunan berkelanjutan selanjutnya masalah penggalangan, pembagian sektor dan penanganan aktivitas diserahkan sepenuhnya pada lembaga ini. “Sehingga dilema di cekungan Bandung mudah-mudah dapat teratasi, Wallahua’lam,” katanya. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...