Laman

Jumat, 04 Maret 2011

Resep Sang Maestro dari Banjarsari


Oleh Hendy Hermawan

Inilah aku, bukan pakar, bukan orang pinter, bukan orang yang berpendidikan, hanya ada kepedulian dan mungkin ada semangat yang ingin saya wariskan.
Itu saja.

Kecemburuan masyarakat, atas keberhasilan yang sebenarnya bukan olehku. Tapi mereka melihat itu adalah hasilku, bukan mereka. Untuk urusan ini aku serahkan pada Allah supaya dapat diberi kemudahan.

Karena prinsip dalam memerangi sampah terus menerus, rasa cukup itu adalah musuh besar bagi para pejuang sampah.


TERLAMBAT atau tidak, masalah sampah tetap saja menjadi gangguan. Setelah musibah Leuwigajah, kini permasalahannya semakin kompleks. Tidak saja menyangkut masalah kebijakan pemerintah yang sangat alot seakan tak peduli, juga diperparah dengan cara berfikir masyarakat yang tidak sehat. Sehingga menyebabkan perilaku dan lingkungan yang tidak sehat. Disadari ternyata faktor kedua ini, yaitu pola berfikir yang tidak sehat, faktor penyebab utama dalam kegagalan mengurusi sampah, terutama sampah perkotaan. Notabene orang yang tidak berfikir sehat ini adalah orang yang memiliki kemudahan akses dalam menerima informasi, tetapi cerita kegagalan ini menjadi cerita lain yang menarik untuk diperhatikan.

Di lain sisi kita pun tidak bisa menafikan, berbagai usaha pemerintah untuk mengarahkan pemikiran masyarakat untuk berfikir sehat. Namun, hasilnya belum mencapai target yang diharapkan. Lain halnya dengan Pak Warjiman warga Desa Cibangkong yang mengolah sampah secara swadaya masyarakat menjadi kompos bermutu tinggi, itu dapat berhasil. Ia membentuk sebuah pola berfikir sehat dalam sebuah anekdot, demi sebuah program mengolah sampah. Atau usaha swadaya masyarakat lainnya, seperti Ki Otto pengelola air bersih dari Garut. Kemudian perbedaanya apa faktor pembeda antara usaha pemerintah dan usaha masyarakat? Adakah kekurangannya, dimana letaknya? Bagaimana pendekatan yang dilakukan? Akhirnya, mengapa ini berlangsung sangat lama?

Ternyata untuk menjawab semua itu tidak mudah, memerlukan berbagai pengalaman untuk meramunya menjadi sebuah resep obat yang manjur. Ada pengalaman seorang ibu rumah tangga, setidaknya tercatat di dalam sejarah dunia sebagai salah satu wanita yang mendapatkan piagam penghargaan dari UNESCO, sebagai perintis lingkungan dalam pelolahan sampah. Beliau adalah Ibu Harini Bambang Wahono, asal Cilacap, Jawa Tengah, kini ‘dikontrak’ oleh Kementrian lingkungan Hidup, Kimpraswil, BPTT sebagai figur teladan dan menjadi narasumber manajemen pengelolaan sampah terpadu Indonesia. Harini juga seorang Nenek, bersama tujuh cucunya, tinggal di Kampung Banjarsari, dari tahun 1980-an dan semenjak itulah ‘genderang perang mulai ditabuh pertanda pertempuran’ dengan sampah dimulai.

Sengaja saya kali ini bersilaturahmi dengannya, setidaknya untuk mendapatkan sebuah ‘resep’ mengajak masyarakat berperan dalam pengelolaan sampah terpadu. Untaian gaya khas situasional pun tertutur, namun sebelum itu semua terjadi saya direpotkan dengan lebatnya hujan yang turun di kampung itu. Orang menyebutnya kampung Banjarsari, et jangan terkecoh, letaknya bukan di dekat pesisir pantai pangandaran, tapi ada di tengah Ibu kota Jakarta. Anehkan, jangankan anda, sopir blue bird pun sempat kebingungan.  

Taxi berhenti tepat di depan benkel mobil ISUZU, lima belas menit menuju jam 11 siang pada hari yang berawan di musim penghujan. Setelah membayar taxi, melangkah keluar, menjejak di trotoar, memperhatikan sekilas ke sekeliling, mencari seseorang yang mungkin aku dapat menanyakan dimana kampung Banjarsari itu? Sejenak terdiam, seorang satpam menghampiri, tanpa basa-basi langsung ku bertanya. satpam langsung menunjuk sebuah gang yang mesti dituju. Merasa puas, langsung saya menuju gang bernama Banjarsari.

Selangkah demi selangkah dengan pandangan mata terus ke depan. Berjalan di gang ini seakan masuk dalam sebuah jalan rahasia menuju sebuah dunia lain yang terasa semakin lebat, seperti hutan. di ruas gang Banjarsari masing-masing rumah tidak tampak jelas, hampir tiga perempatnya tertutup pepohonan. Di setiap lahan kosong, terpampang papan bertuliskan “Apotik Hidup”, dan sudut-sudut gang terdapat satu unit tempat sampah, untuk tiga jenis sampah yang berbeda. Semakin masuk kedalam suasana gang tampak ramai dengan pot-pot indah beriskan bunga dan pohon beraneka warana dan bentuk semua tertata dengan, manisnya. Setelah asyik berkeliling dan sempat berteduh dari guyuran air hujan di salah satu rumah yang baru tersadari mirip kos-kosan.... 30 menit berlalu, hujan mulai reda, kupaksakan kaki melangkah menuju, Kediaman harini. menurut pemilik rumah kos tadi, Harini tinggal di ujung jalan ini. aku taksabar bertemu dengannya...

Sebetulnya, kalau kita mau jujur usaha pemerintah ini tidak kurang-kurang. Misalnya, program kali bersih, laut biru, namun program ini selalu kandas karena kurang dukungan dari masyarakat. Mungkin penyebabnya adalah pola pikirannya, perilaku dan kebiasaan yang belum berubah. Sedangkan untuk mengubah tiga faktor itu, masyarakat untuk memerlukan waktu cukup lama, dan di sisi lain adalah keberadaan penggerak, seperti pemerintah, LSM, atau siapa saja, juga memerlukan kemauan yang keras, tidak bisa bilang “sampai di sini saja cukup”. Merubah pola pikir itu harus berulang-ulang, sebab kalau para penggerak berhenti, maka masyarakat ikut berhenti. Seperti kata pepatah Apal taji karena di ulang, jadi penyuluhan dan semiar itu harus terus menerus, maka pengulangan ini kan merubah pola pikir dan setelah berubah selanjutnya bisa menerima progam kita, atau pemerintah. Ketika seseorang itu bisa menerima, maka mulai orang itu berperan dan itu yang aku lakukan selama ini.

Aku lihat pula kendala lain. Yaitu, keserempakan dari pemerintah dan masyarakat itu belum ada. Misalnya pemerintah sudah berbuat, tapi masyarakat tidak meresponnya. Maka apa yang diperlukan masyarakat sekarang adalah sebuah regulasi, berbentuk Undang-Undang Persampahan atau Perda-perda yang mengurangi perilaku tidak sehat masyarakat. Sehingga kalau belum ada regulasi berikut sanksinya, masyarakat akan terus bersikap masa bodo, ‘ngapain juga aku ngurusin sampah’. Jadi aku pikir ini jalannya kalau ingin memberdayakan masyarakat kita harus serempak, seperti perlawanan kita melawan Belanda. Tidak seperti sekarang perang melawan sampah itu sporadis*

Aku berkaca pada diriku sendirinya, aku ini bukan pakar, pendidikan pun tidak, cuma aku itu memiliki kepedulian dan keprihatinan kok negeri kita seperti ini. Lantas aku berfikir, apa yang bisa kita perbuat oleh masyarakat, karena pada dasarnya peran sekecil apapun itu sangat berarti bila kita berbarengan. Karena aku itu sudah dilatih dari kecil untuk peduli pada lingkungan oleh Ayah. Beliau menanamkan bahwa bentuk kepedulian itu adalah bentuk kecintaan kita pada negeri ini. Sejak remaja saya selalu berada dalam lingkungan pengelolaan sampah dan apa lagi sekarang banyak sampah dimana-mana. Lalu aku terus saja berfikir, apa yang bisa aku perbuat untuk negeri ini? Kita diberi gunung, kok ‘kenapa’ digunduli dan dijadikan tempat buang sampah, kita dianugerahi sungai dan laut yang biru, tapi ‘kenapa’ dijadikan tong sampah. Kita ini memang benar-benar sedang sakit pikiran dan perilakunya.

Aku pikir modal pertama adalah adanya kerjasama. Seperti aku mengajak bersama-sama ibu-ibu mengurusi sampah. Kedua mengajak mereka dengan pendekatan hati nurani. Kita dekati, dan berulang-ulang kita beri pengarahan dan kadang kita beri contoh atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan sampah kita coba lakukan. Aku pernah mendatangi warga banjar sari yang sakit keras, ia awalnya susah mengerti atas usahaku ini, tetapi setelah ditengok dan berdialog ia menjadi kader andalan.

Sekali lagi saya memakai pendekatan hati nurani dan kenyataannya memang bila masyarakat tidak dilayani dengan hati nurani tidak mungkin mereka akan memiliki peran. Misalnya dimasayarakat itu selalu muncul keraguan, seperti Mengapa kita mengurus sampah di kondisi serba sulit ini? Biasanya aku jawab dengan memberikan tahu dengan kita mengurus sampah ada nilai ekonomisnya, seperti menjual kompos, menjual hasil tanaman, biasanya menjual satu klo kompos bisa Rp 1500,- kemudian aku arahkan supaya menjual tanamannya saja, karena bisa dijual sampai Rp 15.000 dan mereka bisa mengerti. Kemudian rumus populer 3 R (reduse, reuse, recycle),  itu di praktekkan dibarengi dengan rumus dari Aa Gym yang berbunyi, mulailah dari diri kita sendiri dari hal yang termudah, dan jangan di tunda-tunda mulai sekarang juga. Hasilnya, dengan adanya perhatian dari masyarakat sendiri terhadap keluarganya masing-masing itu sudah sangat membantu. Misalnya, bagaimana agar tong sampah saya tidak cepat penuh, atau bagaimana bila sisa sayuran saya bisa termanfaatkan, bagaimana kalau kertas bekas saya bisa di daur ulang dan sebagainya, kenyataannya itu secara otomatis terlaksana dan itu adalah sebuah peran dari masyarakat.  

Saya kira kebijakan pemerintah mengarah pada resep ini, namun kenyataannya seperti yang telah dikatakan, masyarakat belum merespon secara benar. Aku punya pikiran, untuk menerapkan pendekatan hati nurani ini, gampang saja. Ternyata masyarakat itu sangat ‘nurut’ pada RT. Kalau Ibu Bambang yang datang, pasti diledek mau ngapain sih bu Bambang. Tapi beda kala Pa RT yang bicara, seluruh warga bisa digerakkan. Maka bila ketua RT bahkan RW memiliki kemauan yang keras untuk menjadikan lingkungannya sehat, tentunya akan berhasil. Maka saya kira biarkan saja aparat di tingkat atas mereka memikirkan teorinya saja, biar peran RT dan RW yang mengarahkan masyarakat. Soalnya, RT dan RW adalah bagian aparat yang lebih tahu kebutuhan warganya.  Targetnya sederhana bagaimana supaya lebih dekat. Kalau ada yang sakit kita tengoki bareng-bareng atas inisiatif RT, dan hasilnya bila sudah dekat menghimbau apa pun terasa mudah.

Seperti yang saya tawarkan sederhana saja, memperlakukan sampah itu dengan cara yang semestinya. Kemudian pendekatannya pun ibaratnya tidak langsung meminta mengolah sampah, tapi aku turutin dulu apa kemauan dan kebutuhan mereka. Misalnya, aku sempat mengajar beberapa orang ibu-ibu yang buta huruf, lalu aku ajari dan perlahan dijadikan kader yang bisa menggantikanku di kemudian hari. Lalu ada keluarga yang kehidupannya kurang mampu, aku coba bantu sebisa-bisanya. Ya, semua itu mungkin supaya dekat.

Aku pun sempat berfikir semuanya itu memang aku yakin dimudahkan oleh Allah SWT, pada waktu itu suamiku terpilih sebagai Ketua RT, menyebabkan ajakan melestarikan lingkungan dengan memilah-milah sampah rumah tangga dan memanfaatkan lahan pekarangan semakin gencar.

Perjuangan melawan sampah pun meluas, ketika suaminya ‘naik pangkat’ menjadi Ketua RW VIII membawahi delapan RT. Kemudian dengan keleluasaan  kewenangan RW, terbentuklah sebuah wadah organisasi pengelolaan sampah dalam bentuk kelompok Tani Dahlia.

Kemudian untuk menambah nilai dan apresiasi masyarakat pihak RW megadakan lomba penghijauan lingkungan gencar diadakan untuk memperluas efek cinta lingkungan, hingga tingkat kelurahan dan kecamatan. Hasilnya, yang utama tumbuhnya sikap peduli lingkungan warga dan membuahkan hasil juara nasional Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (2000).

Sekarang aku sudah tidak membina Banjarsari lagi, aku mulai membina lima daerah di Jakarta, banyak daerah di Sumatera, Kalimantan dan Makasar, hasilnya lebih bagus dari Banjarsari. Juga sekarang ini terkait dengan beberapa proyek Kementrian Lingkungan Hidup, BPPT, Kimpraswil dan LSM.  

Entah ya, mungkin di usiaku yang sudah lanjut ini di setiap ceramahku itu mereka bisa tersentuh. Sesungguhnya sering mulai dengan bertanya, sebagai anak bangsa ini apa yang bisa kita berikan pada bangsamu? Pernah bicara di hadapan 60 Kepala Sekolah di Bengkulu, aku bangkitkan kecintaan pada tanah air ini dengan menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Pusaka. Karena aku pikir untuk berperang itu, harus jelas dulu kemana keberpihakkan kita pada siapa, lalu siapa musuh kita, apa yang kita bela dan sebagainya. Dasar pembelaan mesti jelas dulu. Sehingga mungkin dengan itu mereka bisa terpacu.

Mungkin dengan ini pula aku secara tidak sadar dapat meramu semua materi yang ada, misal urutan ngomong di hadapan khalayak itu tidak terpikirkan. Saya hanya memperkenalkan, inilah aku, bukan pakar, bukan orang pinter, bukan orang yang berpendidikan, hanya ada kepedulian dan mungkin ada semangat yang ingin saya wariskan. Itu saja. Selanjutnya seperti tadi, teknis yang ditindaklanjuti secara terus menerus.

Di Banjarsari ini, masyarakatnya heterogen, jadi terlampau sulit mengkondisikannya. Untuk mendapat contoh yang pas, ada di karakter masyarakat di daerah lain di Jakarta yang sekarang aku bina. Ternyata ada dua faktor yang mendukung itu, yaitu lingkungan yang mendukung, seperti tersedianya lahan memadai dan terpenting masyarakatnya telah terkondisikan. Jadi memang, di sini faktor pendidikan yang berisi informasi yang tepat dapat melahirkan keinginan dan nantinya ikut serta berperan memerangi sampah. Dan memang dukungan dan geraknya cepat serta serempak, beda sekali dengan Banjarsari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...