Hari Selasa, 15 Juni tahun lalu, dilakukan
penandatanganan Kesepakatan Bersama Kerja Sama Pengelolaan Sampah di Wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) di Ruang Pendapa
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jalan Pattimura, Jakarta. Acara
itu melibatkan empat Pemda Kota - Bekasi, Bogor, Tangerang dan Depok, dua Pemda
Kabupaten - Bogor dan Tangerang, dan satu Pemda Provinsi DKI Jakarta.
Melalui penandatanganan itu, secara ringkas
ketujuh pemda kota-kabupaten-provinsi bersepakat dua hal. Pertama, bekerja sama
di bidang pengelolaan sampah guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup di
wilayah tersebut. Ini penting untuk digarisbawahi mengingat permasalahan sampah
merupakan salah satu penyebab dominan bagi permasalahan tata ruang dan
lingkungan.
Kedua, menindaklanjuti kesepakatan tersebut
melalui pendirian sekretariat bersama (sekber) yang tujuan utamanya mendirikan
Jabodetabek Waste Management Corporation (JWMC). Unit kerja sama usaha itu
nantinya akan mendapat mandat untuk mengelola sebagian kegiatan persampahan di
wilayah tersebut. Terlepas dari ada tidaknya muatan lain, momen penandatanganan kerja sama tersebut setidaknya memiliki tiga makna strategis bagi pengelolaan sampah wilayah Jabodetabek. Pertama, penandatanganan itu menandai dimulainya era baru kerja sama melalui pendekatan kewilayahan atau regional di bidang persampahan, mengingat pengelolaan sampah pada dasarnya tidak mengenal batas administratif pemerintahan, bahkan sektor ataupun departemen.
Secara sederhana dapat dilukiskan seperti berikut. Orang Depok, Bogor, Bekasi atau Tangerang, yang notabene memiliki lahan yang relatif lebih luas dibanding Jakarta, nyampah siang hari di Jakarta selama jam kerja, sementara sebaliknya orang Jakarta yang memproduksi hampir setengah dari sampah Jabodetabek tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk membangun tempat penampugan akhir (TPA) sampah.
Tanpa adanya kerja sama di antara kota-kabupaten-provinsi yang sebenarnya saling tergantung dan mempengaruhi tersebut, permasalahan sampah akan menjadi makin kompleks dengan makin bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat produksi sampah.
Kedua, kesepakatan bersama tersebut merupakan salah satu exit-strategy jangka panjang dari pengelolaan sampah yang kurang efisien dan tidak efektif selama ini. Khususnya biaya investasi pembangunan stasiun peralihan antara (SPA) dan TPA serta operasionalnya akan menjadi lebih terjangkau dan ekonomis bila ditanggung bersama, di mana hal ini pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan keefektifan operasi serta kualitas.
Ketiga, komitmen itu menjadi langkah awal yang strategis menuju diterapkannya pengelolaan sampah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam sejarah pengelolaan sampah di dunia, pengelolaan sampah yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan terbukti berjalan melalui pendekatan service-profit-oriented dan 'terintegrasi'. Ambil contoh profesionalisme yang menjadi syarat berjalannya kedua pendekatan di atas, di antaranya melalui swastanisasi, di mana pemerintah baik pusat maupun daerah hanya berfungsi sebagai regulator, sedangkan pengelolanya diserahkan ke swasta melalui mekanisme tender yang transparan.**
Hari Senin, 13 Februari 2006 lalu, seyogyanya dilakukan penandatanganan namun, Kesepakatan Bersama Kerja
Sama Pengelolaan Sampah dengan Umpan Jaya, salah satu anak perusahaan milik
Malaysia, tertunda dengan keluarnya Kepres No 67 bulan November 2005. Acara itu
melibatkan Pemda Jawa Barat dengan Pemerintahan Malaysia. Singkatnya, hubungan
bilateral ini mempengaruhi hubungan regional yang senyatanya telah terungkapkan
dalam pemaparan terdahulu. Berikut Petikan Wawancara dengan Kepala Badan
Pengendali Kerusakan Lingkungan BPLHD Provinsi Jawa Barat, Dr. Iwan
Wiraatmadja.
Apa yang melatarbelakangi niatan Provinsi Jawa Barat
dalam menjalin kerjasama pihak Umpan Jaya?
Intinya kita ingin membuat sistem pengelolaan sampah bersama
untuk metropolitan Bandung, karena saya yakin lambat laun ini akan menjadi
sebuah kebutuhan. Kota Bandung adalah kota padat dan tidak mungkn ada lagi ada
sebuah tempat pengolahan sampah yang representatif. Di sisi lain ada juga kota
Cimahi dengan luas yang terbatas, lahannya juga terbatas. Kemudian bila Cimahi
kita paksa untuk memiliki lahan sendiri kemudian kabupaten Bandung punya
sendiri, dan Sumedang punya lahan sendiri, kan sayang. Secara efisiensi itu
tidak efisien, karena dalam pengolahan sampah secara profesional itu sangat
tidak profesional. Oleh karena itu alangkah efisiennya pengelolaan itu
dilakukan secara bersama. Itu prinsipnya. Tapi setelah itu ada pekerjaan rumah
lagi, yaitu siapa yang akan membiayainya., Nah
boleh saja dari masing-masing APBD di keluarkan, tapi kemampuannya
berapa besar untuk membangun TPA yang ideal, katakanlah dari hitungan kita, untuk
satu TPA saja itu memerlukan biaya 400 milyar. Nah, kita tahu untuk memenuhi
pengelolaan sampah di kota Bandung ini mendesak, sedangkan TPA-TPA yang ada
sudah habis masa pakainya. Mau tidak mau kita harus menggalang suatu pendanaan
untuk suatu TPA yang ideal, dengan segera. Kan itu intinya. Kesegeraan!!! Kalau seumpamanya APBD yang keluar setiap
taunnya sangat terbatas, maka artinya kita mampu dan lebih baik kita mencari
sumber pendanaan lain. Nah disini kita lakukan swastanisasi, lalu pihak privat
mana yang siap mendanai sebesar itu. Kemudian yang berminat melakukan itu
adalah Umpan Jaya, dari Malaysia.
Apakah Umpan Jaya ini keluar dari hasil Jabar
Infrastructure Summit (JIS) Agustus lalu?
Tidak, mereka datang jauh sebelum JIS, mereka berminat
dan kala itu sedang melakukan visibility
study. Mereka hanya mengajukan dan tidak lebih dari pemrakarsa. Langsung ke
Gebernur Jabar. Masalah masuk lelang atau tidak itu tergantung masalah
interpretasi dari kerjasama ini, intinya kita lihat nanti. Tapi bagaimanapun
juga dalam kondisi yang mendesak ini kan, harus kita sikapi bagaimana jalan
keluarnya, siapa yang siap untuk menangani masalah ini,
Apa tugas yang dibebankan kepada mereka?
Secara umum Umpan Jaya akan menyususun infrastruktur TPA,
mulai dari TPA. Karena yang menjadi masalah krusialnya adalah keberadaan penanganan
TPA yang profesional. Dan kita coba mengerjasamakan dengan pihak swata yang
memiliki pengalaman dibidang itu.
Rencana dalam sepeuluh tahun pertama ini kita masih
menggunakan teknologi sanitary landfill.
Banyak orang yang bekarta: “ah, sanitary
landfill, teknologi lama”. Tapi, sebenarnya teknologi lama atau baru itu
tergantung pendanaan. Nah teknologi ini bila ditinggkatkan pada teknologi yang
lebih cangih, maka dananya pun akan mengikutinya. Di dalam sepuluh tahun pertama
ini melihat pendapatan perkapita masyarakatnya. Kelihatannya pemda masih cocok
pada pendanaan sanitary landfill.
Setelah itu sepuluh tahun berikutnya teknologi ditingkatan pada sistem
teknology waste to energi, yaitu pengolahan gas metan menjadi energi, dan commposting. Namun dalam sepeuluh tahun
pertama pun program recycling dan commposting berjalan secara paralel.
Karena program-program tersebut kalau dilaksana dengan baik akan menurunkan 20%
jumlah buangan sampah, dan 80% -nya mau ‘diapain’.
Nah ini yang nantinya akan dikombinasikan. Tapi, bagaimanapun sebagus-bagusnya
program recycling dan commposting ini tetap saja menghasil
residu yang mesti ditangani. Jadi katakanlah masa perjanjian ini untuk 30 tahun
dengan sumber pengulangan dan sebagainya mungkin menjadi 50 tahun. Artinya,
selama 50 tahun ke depan kita tidak perlu mencari-cari TPA yang baru.
Bagaimana teknis pembagian kerjanya dan berapa besar
tenaga kerja yang bisa tertampung?
Secara teknis, kemungkinan mix, karena satu sisi mereka sudah banyak pengalaman dalam
menangani sampah tentu saja dari pada mereka membawa tenaga kerja dari sana
lebih besar biaya, lebih baik tenaga kerjanya dari kita. Maka nantinya akan ada
banyak tranning perkerjaan. Dan
jumlah pekerja yang mungkin ditampung mungkin besar, namun kita belum secara
pasti menghitung ke arah sana.
Keuntungan apa yang mereka dapatkan dari kerja sama ini?
Mungkn seperti bisnis biasa keuntungan bagi mereka adalah
fitting fee, yaitu harga dari berapa
ton yang dibuang pada fasilitas mereka.
Apa isi perjanjian yang diajukan oleh mereka dan
disepakati oleh Gubernur sebelum lahirnya Kepres?
Inti isi perjanjiannya, bahwa mereka berminat sebagai
operator metropolitan
Lalu bagaimana dengan Kepres itu?
Yang jelas kita yang memiliki perjanjian sebelum
keluarnya Kepres bulan November 2005 itu, jelas terhambat. Cuman kita harus
coba lihat lagi yang sebelum keluarnya Kepres ini sebelum-sebelumnya kaitannya
seperti apa.
Jadi kapan recana riil penandatangan MoU itu?
Untuk hal jadwal penandatanganan mungkin kita
memperhatikan beberapa hal yang mesti diselesaikan secara administrasi. Kita, pihak
Jabar inginnya semua tidak masalah, dan ingin beberapa hitungan-hitungan ini
harus clear.
Bagaimana dengan penentuan lokasi apakah sudah ada
kesepakatan?
Referensi mengenai penentuan lokasi kita juga mesti
melalui prosedur tata ruang. Tata ruang metropolitasn Bandung bahwa daerah
tersebut ada peruntukan TPA. Dan dalam hal ini Distarkim. Selama ini kita
selalu melakukan kerjasama dalam menentukan lokasi TPA nantinya.
Kembali ke masalah Kepres, menurut pandangan anda
filosofi apa yang mendasari keluarnya Kepres ini?
Sebetulnya filosofi terbitnya Kepres tersebut itu untuk
istilahnya lebih memastikan pada setia MoU yang di buat. Karena banyak sekali
MoU yang istilahnya ‘never ending MoU’.
Banyak Mou yang tidak selesai-selesai. Terutama penanganan sampah ini. Buat mou
tapi tidak jelas akhirnya. Dari pada begitu lebih baik dibuka aja, dan keberadaan
Kepres ini menegaskan supaya tidak terus mundur begitu.
Bagaimana sikap Jawa Barat sendiri?
Sikap Jabar sendiri, kalau terhadap kegiatan-kegiatan
yang akan datang setelah Kepres ini keluar ada baiknya, meskipun ada kesan ‘ngejelimet’.
Harus ada satu proses lelang. Tapi yang terkesan memperhambat investasi adalah
yang seperti program Umpan Jaya di tengah-tengah ini, contoh lain seperti Mou
pada JIS Agustus lalu, sebenarnya MoU itu adalah sebuah bentuk perjanjian minat
belum pada pelaksanaannya, tapi dengan adanya Kepres ini semuanya terkesan mentah
kembali. Jadi apa artinya Mou.
Lalu apa langkah-langkah Jawa Barat ke depan?
Pertama, Jabar akan berhati-hati, tidak mau melanggar
aturan, namun di satu sisi kita pun terus berupanya terhadap MoU-MoU yang sifatnya
mendapat kepercayaan dari investor yang hanya menunjukan minat saja, nantinya itu
akan minta diperjelas dan dipertegas seperti apa dan sebesar apa. Kedua, kita
melakukan konsultasi kepada Badan pemerintahan, Bappenas, Ekuien,PU, KLH namun
demikian ini masih dalam proses. Karena ini merupakan sesuatu katakanlah biar
itu Kepres bulan november 2005 berjalan, tapi dalam periode ini bagi Jawa Barat
adalah periode transisi. Kita baru tahu ada aturan baru, boleh ‘dikatain’ tiga
bulan lalu, ya adalah sedikit proses untuk lebih memfamiliarkannya.
Bagaimana tanggapan Umpan Jaya, apakah mereka mundur?
Itu tergantung dari kondisi teknis maupun non teknis yang
perlu kita selesaikan dengan segera, pada prinsipnya mereka sudah siap dan bila
penyiapannya sudah matang atau memenuhi persyaratan, ya udah tinggal jalan.
Apakah Konsep penanganan sampah Metropolitan Bandung sama
dengan Konsep Jabodetabek?
Jabodetabek sendiri sama, dari sisi teknologi kelihatannya
sama, terus sisi kerjasamanya. Bedanya, kalau Jabodetabek yang akan meluncur
duluan ini, untuk kota bogor, depok, bekasi.
Mereka masih belum mendapatkan partner secara khusus, kan niatannya kerjasama antar daerah se-Jabodetabek ini membentuk
suatu korps diantara mereka sendiri. Mungkin PT yang dimiliki oleh ketiga daerah
itu. Namun, apakah si PT itu akan menggandeng lagi sebuah perusahaaan lain untuk
ikut mengelola, kayaknya belum sejauh itu. ***(p02)