Pewawancara:
Hendy Hermawan
Fotografer:
Dadang Supriatna
Narasumber:
Prof. Daud Silalahi
Jabatan:
Guru Besar Hukum Lingkungan,
Keahlian:
Ahli Amdal, dan Ahli Hukum Penataan Ruang Nasional dan Internasional
Prestasi:
Internasional, staf ahli khusus PBB (UNDP) untuk Asia
Topik:
Menata Kembali Pelaksanaan Hukum Penataan Ruang
Alamat:
Jl. Tubagus Ismail No. 12 Bandung
Telepon:
Judul: Sistem Informasi Unjung Tombak Penataan Ruang
***
”Hukum itu jangan
susah-susah, walaupun bahasa hukumnya susah, tapi harus diterjemakan dalam
bahasa yang mudah dimengerti, sehingga masyarakat itu ikut mengawasi dan
memberi saran dengan mudah, itulah penyampaian sosialisasi informasi secara
sederhana”. Sebuah pernyataan yang benar terucap oleg seorang pakar hukum
lingkungan, Profesor Daud Silalahi. Mungkin track
record beliau lah yang bisa menyamai Bapak Otto soemarwoto. Bersamanya,
Daud Silalahi menjadi salah satu dari dua orang Indonesia yang secara keahliannya
diakui dunia internasional dalam menentukan kesahihan sebuah Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
Laiknya seorang
Profesor, Daud Silalahi tampil sederhana, namun tetap mumpuni. Ketika itu Tim
Proses mengunjungi di kantor konsultannya di Tubagus Ismail, setelah beberapa
minggu sebelumnya selalu menemui kegagalan, karena kesehatan jantung Daud
Silalahi kambuh kembali. Namun anehnya, pada saat wawancara, Selasa pagi
beberapa waktu lalu, kesan sakit tidak tampak di raut mukanya, seakan sirna
oleh lantangnya suara dari mulutnya. Berikut sebuah wawancara dengan beliau,
sebuah kuliah tentang penantaan ruang.
Menurut hemat Anda bagaimana mengurai permasalahan penataan ruang?
Pada mulanya pembangunan itu dikaitkan dengan masalah
lingkungan, sebelum tata ruang itu menjadi menonjol perannya. Bila itu menjadi
awalnya, maka pertanyaannya bagaimana kita menerjemahkan masalah lingkungan itu
yang di satu-sisikan harus membahas masalah kemiskinan, inikan sisi-sisi yang
harus wise juga kita melihatnya.
Kalau kita maunya hitam putih ini susah juga. Jadi maksud saya untuk
menjelaskan berapa sih perkembangan-perkembangan harus dimasukkan dalam
pembangunan itu sendiri. Katakanlah kalau jaman dulu, kalau misalkan HPH
kehutaan menjadi masalah ketika tidak sesuai dengan peruntukan kawasan itu kan
akan menimbulkan berbagai masalah, juga masalah pertambangan, seberapa jauh
ruang kawasan itu diberikan pada pengusaha sebagai kawasan pertambangan,
sehingga masalah lingkungan tidak menimbulkan masalah pada masyarakat pada
umumnya. Itu pada mulanya.
Apa yang menjadi tolak ukur masalah lingkungan tidak
bermasalah pada masyarakat?
Tolak ukurnya melihat, berapa lingkungan itu
dipertimbangkan ternyata tidak mudah kita ketahui bila tidak mengetahui karakter-karakter
kondisi lokal, sebuah kawasan, dan di sini kita katakan kawasan munculah kata
ruang. Jadi tergantung juga nanti kawasan tadi diperuntukkan untuk kegiatan
apa. Kata peruntukan itu sudah menyangkut kata kawasan, maka kemudian muncullah
sebuah pemikiran kalau begitu perlu dibuat Undang-undang tata ruang, supaya ada
perencanaan dari awal, misalnya kawasan ini diperuntukan untuk permukiman,
industri, seperti karawang dulunya lahan pertanian, sekarang menjadi kawasan
industri, gimana ini, karena itu harus ada perencanaan yang diperuntukkan untuk
kawasan apa dulu, supaya masalah lingkungan tidak pada tataran umum-umum saja,
harus detail sesuai peruntukkannya, muncullah Undang-undang tata ruang tahun
1992. Nah, barangkali orang harus pahami tentang Undang-undang tata ruang dia
lebih sifatnya itu mengendalikan, membuat balance,
menciptakan sebuah harmoni, antara pemanfaatan di satu sisi dan pencegahan
karena degradasi akibat pemanfaatan. Pasti ada masalah di situ. Karena kalau
dibongkar lalu dibangun pasti ada masalah di situ. Sehingga pengendalian
degradasi itu sampai pada tingkat-tingkat tertentu sehingga masih ada pada taha
toleransi tidak sampai pada hal tidak benarlah. Jangan sampai untung besar tapi
membawa keugiaan yang lebih besar.
Tata ruang menjadi pengendali bagaimana bentuk usaha
riilnya?
Saya bilang, tata ruang adalah suatu bentuk usaha
pengendalian peruntukan kawasan sehingga pemanfatan sebaik mungkin dan
kerusakan fisik yang sedikit mungkin. Itu intinya tata ruang. Maka di sini ada
dua hal, kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan lindung inilah yang
menjadi ruang sejuk untuk mengendalikan banjir, longsor dsb, sedangkan budidaya
itu adalah kawasan yang peruntukannya secara ekonomi, misalnya permukiman dan
kegiatan ekonomi lainnya. Nah ini dalam tata ruang, keberadaan dua kawasan ini
harus balance. Kemudian tahapan
kedua, terutama sebelum dan sesudah otonomi daerah, kalau kita bicara masalah
tata ruang kan yang tahu peruntukan ruangnya itukan daerah. Nah oleh karena
itu, kalau Undang-undang secara nasional itu membagi pendekatan hukumnya
membuat ruangnya peruntukan, di sini bagaimana daerah itu membuat perizinannya,
maka di sini daerah itu perlu membuat bagaimana peraturan daerahnya tentang
rencana tata ruang wilayah atau perda tata ruang. Sebenarnya, secara nasional,
hanya memberikan semacam pandangan makro saja, tapi menghitung berapa-berapanya
itu diserahkan pada daerah. Namun yang perlu disini seperti saya katakan tadi
adalah alat ukur dan kalau kita membicarakan alat ukur itu kita memerlukan data
dan informasi. Oleh karena itu dalam perda itu dimuatlah informasi tentang air,
permukimannya, sampah, pendidikannya, kesehatannya, nilai ekonominya, semua
informasi ada di situ supaya tahu semua orang cara melakukan pembangunan.
Itulah yang dikatakan dalam perda sebagai sistem informasi geografisnya. Maka
di sini yang penting adalah informasinya. Jadi kalau mau minta izin, baca dulu
informasinya. Karena informasi dalam perda itu harus dipahami betul, kalau
enngak tidak ada ukuran membuat rusak dan tidak rusaknya, kondisi lapangannya
bagaimana. Biasanya kita bagi dalam tiga informasi kondisi, pertama informasi
kondisi ekonominya, sosial budayanya dan informasi lingkungan. Namun. Ketika
informasi diketahui dan pembangunan ditetapkan, tetap menyimpan masalah, yaitu
pembangunan itu bisa dikendalikan apa tidak? Harus ada instrumen pengendalian
dan penegndalian ini bisa ngurangi ongkos kerusakan. Ini dasarnya, bahwa
Undang-undang tata ruang itu sangat bergantung pada data dan informasi geografis
itu sendiri. Kalau ini ’nggak bener’, enggak bisa, katakanlah ini sekian dan
itu sekian, tapi berbeda dengan dilapangan kan susah. Sebelum keluarnya izin
membangun, itu harus tahu konturnya, kemiringannya.
Sejauhmana sistem informasi berkembang dalam sosialisasi
hukum penataan ruang, khususnya di Jawa Barat?
Hampir dapat disimpulkan secara umum dalam skala nasional
dan daerah, informasi tentang hukum itu tdak berjalan dengan baik. Tidak ada
instansi atau orang yang mampu menyampaikan apa sih yang sebenarnya boleh dan
tidak boleh, hanya bilang ada peraturan, kalau begitu saja semua orang pun
bisa, tapi apasih artinya peraturan. Misalkan, Oh di Utara itu tidak boleh dibangun bangunan
yang besar, harus yang kecil, tapi apa artinya, agar jelas. Jadi kalau jelas,
masyarakat bisa memahami dan mengawasi.... Jadi maksud saya begini,
bagaimanapun keputusan itu ada kelemahan dan kelebihannya, tapi ketika
keputusan itu mulai dilakukan, masyarakat pun ikut mengawasi. Ketika mereka
mengawasi berbekal data informasi geografis tadi, maka semua pihak sadar
apabila banyak kelemahan yang terjadi kan bisa langsung diatasi, masa tidak
bisa diatasi. Tapi yang sulit lagi adalah transparansi, apapun kegiatan yang
akan dilakukan dan tidak boleh dilakukan itu harus lebih dulu tersampaikan,
terutama masyarakat di sekitar kegiatan. Kebanyakan, setiap kegiatan apapun,
hanya perusahaan dan pemerintahan yang tahu, masyarakat tidak. Tapi setelah
terjadi baru masyarakat ikut terlibat dan mungkin bila sudah ada masalah,
karena sifat spontan masyarakat bisa menyebabkan reaksi berlebihan, karena
mereka sebelumnya nggak tahu, begitu. Jadi maksud saya, karena penyampaian
hukum itu kurang begitu baik, hanya sebatas penyuluhan yang hanya dimengerti
orang pintar saja, tidak kaya metoda. Tapi kalau saja semua kepentingan bisa terbuka,
saya yakin bisa ditarik sebuah solusi dan masyarakat yang merasa ada
kepentingan juga akan menyadari itu. Trasnparansi dan dialog inilah yang
disebut full democratice liberate, yaitu setiap orang pendapatnya didengar,
masalah bisa diterima atau tidak itu kan bisa dibicarakan. Ini masalah
komunikasi.
Bagaimana tanggapan Anda tentang Undang-udang penataan
ruang sekarang ini, apakah telah mengakomodir hal ini?
Sebenarnya Undang-undang penataan ruang itu terlalu umum.
Di sana kalau kita membaca dari pasal 18 sampai 47 adalah ” Undang-undang
Penataan ruang itu adalah arahan-arahan untuk provinsi, provinsi itu
arahan-arahan daerah kabupaten dan kota”, kira-kira begitu bahasanya, baru di
Kabupaten ditentukan indikator-indikator untuk investasi, perizinan. Di sini
bahasa hukumnya asih umum-umum dan barang kali juga penerapan sanksi diserahkan
pada sektor-sektor yang terkait lebih banyak ikut pada perencanaan, bukan
semacam norma yang mengatur pada sebuah kegiatan. Sifat dari Undang-undang tata
ruang itu sifatnya perintah, kalau anda hendak merencanakan nah ini aturan yang
harus diikuti. Kalau anda mau melakukan kegiatan ini.. Nah Undang-undang ini di
situ lagi posisinya. Salah satu yang mungkin bisa dikatakan kelemahan atau
memang disengaja supaya nantinya diatur oleh masing-masing instrumen di daerah,
mungkin diharapkan pemdalah yang membuat detailnya, makanya ada perda rencana
tata ruang wilayah, dan di situ ada sanksinya. Sebenarnya sebagai contoh, kalau
saya perhatikan perda kota Bandun No.2 tahun
2004, menyebutkan batas-batas dan peruntukan di setiap kawasannya dan di sana
tercantum setidak-tidaknya seluruh kawasan Bandung 10% menjadi kawasan lindung,
nah 10% itu dimana? Bisa diteliti lagi dan harus dipetakan. Jadi perlu di tata
kembali. Kemudian di dalam Undang-undang Tata Ruang No. 24 tahun 1992, pasal 13
mengatakan rencana tata ruang itu bisa ditinjau kembali untuk mengikuti
perkembangan, dirobah lagi untuk mengikuti kebutuhan masyarakat dan kondisi
lingkungan yang ada. Penafsiran saja sudah berbeda, paling tidak ada beberapa
kemungkinan.
Apa solusi Anda?
Saya kira
semestinya apapun rencananya harus dikomunikasikan dengan para pakar yang tahu
bagaimana kondisi sebenarnya. Sehingga kemudian dapat dicerna dengan baik oleh
masyarakat dan publikasi dari pemikiran itu juga harus baik. Jadi ada
tanggapan, jangan terburu-buru, perlu ada tahapan-tahapan, tidak mungkin dalam
waktu yang singkat. Kuncinya tadi, penyampaian informasi itu perlu, tentang
peraturan tata ruang wilayah selalu ada infrmasi geografisnya. Apa informasinya?
Misal, harus ada ruang hijau, apa artinya bagi masyarakat, kalau daerah Utara
itu tepat resapan air, pasti porsi ruang hijau akan lebih besar, karena daerah
resapan air, dan air akan hilang kalau yang hijaunya kurang. Nah hal pengertian
seperti ini yang mesti terbentuk dalam masyarakat dan ikut mengawasi. Kemudian
di daerah yang perbukitan tidak boleh dibangun bangunan yang bersemen dan tidak
boleh padat untuk menjaga pembersihan udara, hal seperti itu perlu informasi.
Maka mereka kan mengatakan apa yang terjadi sebenarnya karena mereka pegang
informasi. Jadi pengawasan itu tidak semata-mata pada pemerintah atau pada
aparat penegak hukum, tapi masyarakat yang berperan besar dan itu menjadi salah
satu konsep dasar Undang-undang tata ruang. Seperti pada peraturan pemerintah
No 69 tahun 1999 tentang prosedur mekanisme peran serta masyarakat, yang
menyatakan penyampaian informasi tata ruang melalui tata cara yang mudah
ditangkap oleh masyarakat. Hukum itu jangan susah-susah, walaupun bahasa hukumnya
susah, tapi harus diterjemakan dalam bahasa yang mudah dimengerti, sehingga
masyarakat itu ikut mengawasi dan memberi saran dengan mudah, itulah yang saya
katakan tadi penyampaian sosialisasi informasi secara sederhana. Mungkin
seperti tadi, buatlah sebuah buku panduan lengkap tentang penataan ruang untuk pegangan
buat dikonsumsi masyarakat, tidak sekedar penyuluhan-penyuluhan yang sebenarnya
akan hilang bekasnya dalam beberapa bulan.... benarkan? Ha...ha... haha.**
Hendy Hermawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...