Pewawancara:
Hendy Hermawan
Fotografer:
Dadang Supriatna
Narasumber:
Yesmil Anwar, S.H., M.Si.
Profesi:
Dosen FH Unpad
Topik:
Pendekatan Budaya dalam Penataan Ruang
Alamat:
Jl. Papanggungan No 17, Wisma Husada RS. Pindad
Telepon:
022 – 7311216,
PENINGKATAN kesadaran lingkungan yang terencana dalam penataan ruang dan
wilayah memerlukan pendidikan sebagai alat utama untuk memperoleh perubahan pola
berfikir dan sikap benar menuju kehidupan berkelanjutan (sustainable way of life). Sejak dekralasi Stockholm 1972,
pendidikan telah menjadi salah satu prinsip pengembangan lingkungan tertuangkan
dalam perencanaan kawasan. Hal ini tertuangkan dalam rekomendasi di UNESCO
untuk mempersiapkan dan membantu setiap negara mempersiapkan dan melaksanaan
rencana penataan kawasan dan wilayahnya, sebagaimana dirumuskan dalam
rekomendasi 95 s/d 101.
Rekomendasi tersebut memuat berbagai kegiatan pendidikan, informasi,
aspek sosial budaya dalam memecahkan persoalan ruangnya. Salah satunya adalah
merencanakan penataan kawasan dan wilayah berbasis budaya setempat. Dalam
prakteknya, penataan ruang dengan pendekatan budaya, masih dipandang sangat
jauh dari harapan. Setidaknya, itu yang diungkapkan oleh pakar Hukum dan
Budaya, Yesmil Anwar, S.H., M.Si. Ia mengatakan bahwa tata ruang dalam konteks budaya
sekarang hanya dipakai secara parsial saja. ”Kita terpaksa berbicara hal itu, karena dalam alam globalisasi ini penataan
ruang itu tidak semudah pada masa lalu. Ruang-ruang yang kita buat ini
mempunyai kolerasi yang lebih besar dalam konteks regional dan internasional,“
katanya.
Demikian,
penggalan wawancara kontributor PROSES dengan Yesmil Anwar beberapa waktu lalu.
Berikut ini, isi wawancara selengkapnya, di tengah hujan lebat dan terjangan
angin puting beliung di sekitar kantor Biro Hukum Unpad jalan Progo No. 17
Bandung. Ketika budaya mesti bicara.
Bagaimana pandangan Anda akan peran budaya dalam penataan
ruang?
Ini suatu bentuk pendekatan yang multidisipliner dalam
membentuk sebuah tata ruang suatu kawasan di belahan dunia manapun, termasuk
Indonesia. Kita pun beranjak dari Bhineka Tunggal Ika, mengakui adanya
kesatuan-kesatuan dalam keberagaman. Ketika kita membentuk ruang-ruang publik
atau sebuah perencanaan tata ruang dalam konteks negara kesatuan kita tidak
hanya melihat dalam konteks lingkungan saja, tetapi juga dalam konteks ekonomi,
geo politik, geo budaya, juga kawasan dalam konteks regional dan internasional.
Kita terpaksa berbicara akan hal itu, karena dalam alam globalisasi ini
penataan ruang itu tidak semudah pada masa lalu, karena ruang-ruang yang kita
buat ini mempunyai kolerasi yang lebih besar dalam konteks regional dan
internasional. Saya memahami bagaimana budaya lokal bisa mempengaruhi hukum
positif. Karena sebagai orang hukum, tentu saja sandaran utama dalam
pengelolaan tata ruang dalam konteks apapun harus ada sandaran hukumnya. Tapi
Hukum yang dibuat harus hukum yang bertitik tolak pada tiga dimensi, yaitu,
dimensi filosofis, yaitu harus sesuai dengan filosofi bangsa, dimensi yuridis,
yaitu tata urutan perundang-undangan di Indonesia, sehingga tidak bertabrakan
Undang-undang yang bawah dengan yang atas. Lalu dimensi sosiologis, yaitu
bagaimana masyarakat itu berinteraksi di dalam ruang-ruang itu sendiri dalam
konteks sosial dan budaya. Undang-undang yang dibuat berdasar tiga dimensi itu
yang mengatur tata ruang kita, itu harus bisa menjawab tantangan yang dinamis,
termasuk misalnya hukum waris.
Bagaimana contohnya?
Sederhana saja contohnya, di Hongkong dan di Singapura.
Di sana, kalau orang membeli apartemen, itu cicilan apartemennya bisa mencapai
100 tahun, kalau di Indonesia itu hanya 15 tahun. Pertanyaan kita, apakah umur
mereka lebih dari 100 tahun, tapi sebenarnya mereka memiliki visi yang berbeda
tentang konsep kepemilikan tanah, kepemilikan ruang, rumah. Bahwa utang dari
orang yang menyicil itu bisa diwariskan oleh anak dan cucunya.Sehingga
kelihatan bagaimana sisi budaya mereka akan hukum waris diterapkan dalam
konteks keruangan yang visioner, tentu saja ini masuk dalam relung-relung
kebudayaan bagaimana budaya di sana mau dilestarikan diarahkan pada kepemilikan
atau bidang ekonomi dan itu sah milik warga negara Singapura yang memiliki
status yang jelas. Kita melihat betul bagaimana ruang menjadi kepemilikan.
Contoh lain dari sisi design,
misalnya ruang dalam konteks religius. Orang Malaysia menerjemahkan, kebersihan
sebagian daripada iman, jelas. Kalau menurut hemat saya, kebersihan itu adalah
kontekstual dengan masalah tata ruang. Saya melihat bagaimana nilai kebersihan
masuk ke dalam regulasi, masuknya smooth
tidak dibenturkan, jelas konsep religius "kebersihan sebagaian dari pada
iman” dimanivestasikan ke dalam SPBU-SPBU. SPBU itu ada bintang satu, dua,
tiga, empat. Kita lihat yang bintang satu, dua, tiga, empat bukan SPBU-nya,
tapi WC-nya. Jadi, tandasnya bagus, bintang empat, orang banyak ke situ, karena
WC-nya lebih bagus dari kamar kos kita. Jadi bagaimana dia melihat sisi budaya
timur dengan sifatnya yang religius diterapkan untuk menangani masalah
kebersihan jelas dapat tercapai. Tidak sebatas regulasi seperti di Singapura,
buang puntung rokok di kenai denda sekian, tapi jauh lebih dalam ketimbang hal
itu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita balik ke negara kita, ketika budaya Indonesia
dikembangkan dalam konteks pegaulan antar budaya yang intinya kita percaya
bahwa sara itu merupakan salah satu norma dalam konteks hukum. Ruang-ruang yang
harus kita buat, penataan yang harus dibuat, harus mengacu pada adat istiadat,
pada konteks budya dan sebagainya. Orang Indonesia sekarang berbeda dengan
orang Indonesia dahulu yang asih lekat dengan lingkungannya atau dengan konsep
pemilikan tanah. Sekarang, sudah berani tinggal diapartemen dan beli apartemen,
kan itu tidak ada tanahnya, sudah naik ke atas. Dia sudah punya visi, biar naik
ke atas, sebuah kotak yang punya saya. Sistem ruangnya berbeda.
Apa yang Anda tangkap dari tata ruang kekinian?
Menyedihkan. Anda ingin lihat contoh penataan ruang yang
sama sekali tidak bertitik tolak dari kebutuhan sekarang dan masa depan,
bagaimana berkembangnya Outlet, bagaimana berkembangnya jalan, bagaimana
berkembangnya rumah-rumah yang murah, bagaimana berkembangnya paru-paru kota,
bagaimana berkembangnya maal-maal. Itu semua tidak ada dalam masterplan yang bagus. Intinya tataruang
yang kita telah buat dalam masterplan yang besar tidak nyambung dalam regulasi
perizinan. Regulasi perizinannya terlalu kendor, mempunyai sistem tertentu,
sementara tata ruang yang kta inginkan itu tidak mendukung ditambah lagi,
pertumbuhan penduduk yang begitu besar, pertumbuhan kendaraan, sarana dan
prasarana pembangunan yang tidak memiliki pola yang baik, kemudian pula dengan
dibukanya Cipularang ada satu mobilitas orang bergerak, dimana orang
mengganggap kota Bandung adalah kota untuk weekend,
seharusnya itu diantisipasi dalam konsteks tata ruang.
Bagaimana tata ruang dengan pendekatan budaya berpengaruh
dalam pembentukan karakter masyarakat?
Tata ruang berdasarkan budaya kita sebenarnya tidak lepas
dari bagaimana orang Indonesia memandang dirinya dalam hubungannya dengan orang
lain. Contoh, bentuk ruang-ruang penjara, lembaga pemasyrakatan Indonesia itu
berbeda dengan negara barat. Kita membutuhkan bentuk-bentuk ruang penjara yang
sebagai manusia kolektif itu bisa berinteraksi,
ada ruang-ruang khusus bagi manusia kolektif bisa berinteraksi, sehingga
pembinaan itu bisa berjalan. Berbeda dengan orang-orang di Barat, membutuhkan
satu sel satu orang dan sebagainya. Sisi
pembinaan kita dalam hal itu mengikuti bagaimana visi orang Indonesia. Di dalam
kota dan dalam negara harus tercermin dalam konteks penataan ruang publik yang
ada dalam masyarakat. Bagaimana orang membentuk perumahan rakyat, bagaimana
orang menata daerah pertokoan, perkantoran dan pemerintahan. Anda bisa lihat
sendiri, bagaimana penataan alun alaun jaman dulu, ada penjara, ada kantor pos,
ada stasiun ada pusat pemerintahan dan ada masjid, tapi sekarang apakah pola
itu masih ada, tidak sama sekali. Apakah itu masih terpikirkan, bahwa bangsa
Indonesia masih memiliki masih menginginkan bentuk ruang semacam ini, dalam
konteks budayanya. Apakah tidak membuat kita jadi neurosis, rumah dengan tipe
RSSS, itu panjang berjejer dan kecil-kecil, saya rasa itu membuat orang sakit
jiwa dengan sistem keruangan yang semacam itu. Nah, jadi ada efisiensi
pertanahan yang sama sekali tidak memikirkan bentuk kebudayaan kita, tidak ada
ruang untuk ngariung, ada banjar, ada
nagari, ada tepat rundingan, hampir semuanya kita tidak punya, ruang RW tidak
punya, masyarakat harus memikirkan sekaligus membangun sendiri. Pembentukan
perumahan-perumahan murah ada nggak fasilitas sosial, itu sering kali hanya
janji developer saja. Terus pergaulan antara ruang publik, antara strata atas,
strata menengah dan strata bawah, itu di Indonesia sekarang, maaf saya katakan,
pada tataran konsep, real estate harus membuat tipe kecil, tipe besar, tapi
pada kenyataannya itu dipecundangi, tipe kecilnya hanya dibangun beberapa rumah
saja. Nah, itu menunjukan dialog antar strata itu, tidak terjalin, sementara
kebudayaan kita adalah kebudayaan yang masih membutuhkan dialog antar strata,
karena kita masih memiliki banyak sekali orang bawah dan ini harus ada bentuk
pertanggungjawabannya. Karena kesenjangan sosial ini akan memicu
masalah-masalah, salah satunya adalah kriminalitas. Jadi tata ruang yang buruk
mempermudah terjadinya patologi sosial, penyakit masyarakat, karena orang
menjadi pengap secara budaya. Kepengapan budaya itu orang jadi frustasi,
setelah frustasi orang tidak lagi bisa
melihat mana yang baik dan mana yang salah. Angkot begitu banyak, motor begitu
banyak, rambu-rambu lalu lintas yang semestinya jadi acuan, tidak berfungsi, semuanya
hanya sebatas rambu, diturut OKE, nggak diurut nggak apa-apa, jadi anomik,
terjadi kekacauan norma. Kekacauan norma itu deregulation of norm atau extern
of norm sama sekali, tidak tahu lagi mana yang bener mana yang salah di
dalam melihat permasalahan. Coba dilihat, orang membuat kios di terotoar, itu
jelas salah. Dia merasa salah. Tetapi ketika pemilik kios itu diberi listrik
oleh PLN, ia dikasih meteran dan dia bayar dia bayar kontribusi pajak bulanan.
Dia yang tadinya merasa bersalah, tetapi ketika dia punyak hak atas listrik
karena ada pajak dia merasa benar. Akhirnya terjadi anomik, regulasi yang
sebenarnya tidak bisa jalan dan dalam tata ruang sebenarnya ada daerah hijau
yang mencakup kepentingan atas hak azasi manusia yang sifatnya palsu, tidak
beranjak pada kepentingan orang secara keseluruhan. Jadi pemikiran itu positif
harus ada kepastian hukum. Ketika trotoar tidak pernah difungsikan sebagaimana
fungsinya untuk pejalan kaki, ketika pejalan kaki itu naik motor perilakunya
seperti naik motor yang amat brutal, di Bandung khususnya para pengendara motor
kapan dia belok hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.
Haha...haa.
Bagaimana anda memandang masterplan tata ruang sekarang ini?
Nah ini yang saya kuartir, masterplan tata ruang berusaha untuk menjadi baik, karena keterbatasan
law enforcement-nya, aparat penegak
hukumnya tidak menjalankan dengan baik, kemudian sarana-prasarananya pun untuk penegakkan
hukum tidak mendukung. Lalu masyarakatnya, masyarakat yang permisif dan sakit
dan sebagainya. Seharusnya yang empat unsur ini harus berkumpul membuat tata
ruang yang bisa memiliki nilai. Saya suka bersinis ria, ngobrol-ngobrol,
tentang bikin jalan. Kalau kita bikin nama jalan terutama di tengah kota
Bandung, Jalan Ir. H. Juanda itu harus
pake garis miring sungai, jalan strip sungai. Begitu hujan itu jalan berubah
menjadi sungai. Apa yang terjadi sebetulnya, ada kemampetan-kemampetan tertentu
dalam dalam konteks tata ruang. Ada daerah-daerah kampus, yang sebenarnya sudah
di floor, betonan, tidak da satu
jengkal pun tanah yang bisa menyerap air. Disuruh bikin sumur resapan, cuma
himbauan saja. Pemerintah tidak mau mengeluarkan uangnya, padahal satu sumur
resapan itu hanya butuh uang 300 ribu biayanya, maka kalau saja sumur resapan
ada di setiap daerah itu mungkin akan bisa mencegah air. Saya usulkan, ayo
bikin sumur resapan per RT, dan dananya dari kota, jadi setiap RT didrop uang
untuk buat sumur resapan. Kemudian ayo, beripenghargaan, bagi ruang-ruang yang
dibuat hijau oleh kebanyakan orang strata atas, seperti jalan Dago, Setia Budi,
Cipaganti di rumah-rumah yang halamannya besar-besar, karena di dalamnya masih
banyak pohon pohon. Coba pohon-pohon itu dijadikan aset kota, seperti taman di
pindad yang sekarang diperihara oleh kota. Hendaknya, penghargaan ini diberikan
kepada masyarakat umum dan dilakukan setiap tahun. Saya kira, ini hal-hal kecil
yang saya kira muncul ketika budaya sudah ditinggalkan, pembahasan masalah
ekonomi, sosial, politik, hukum sama sekali tidak mengakar pada budaya lokal.
Bagaimana tanggapan tentang Yogya dan Bali, mungkinkah
Jawa Barat berkembang seperti mereka?
Saya tertarik, ketika itu saya sangat dekat dengan Romo
Mangun, saya melihat ada kesadaran budaya yang besar dalam diri beliau untuk
menciptakan ruangan yang ramah pada lingkungan. Masalahnya tidak sederhana, para
budayawan di sana betul-betul orientasinya mengarah pada kepentingan lokal.
Berbeda dengan budayawan Jawa Barat, orientasinya lebih mementingkan
dirinya-sendiri, yaitu bagaimana dirinya bisa terpakai secara nasional.
Disamping itu para pemikir perencanaan wilayah tidak mengerti benar
karakteristik budayanya sendiri. Sementara, orang Yogya mah punya kebanggaan
sendiri. Punya indentitas, mungkin juga karena faktor raja, sementara di sini,
banyak menak-menaknya tidak lagi berakar ke bawah, sifatnya ke samping, ke
biokrasi atau yang lainnya. Maka, itulah sebabnya mengapa kita sulit berkembang
seperti di Yogya atau Bali.
Mengapa bahasa-bahasa sederhana kebudayaan ini tidak
terwujud bahkan untuk sekedar dimengerti pun sulit?
Masalahnya, kebutuhan-kebutuhan lokal dalam era otonomi
daerah yang sifatnya harus bersandar pada pengertian-pengertian atau standar
hukum yang berlaku. Tentunya, semua ini berpangkal seperti pada masyarakat Jawa
Barat dan masyarakat Yogya, bagaimana mereka memahami apa itu moderenisasi. Ternyata
berbeda, masyarakat Jawa Barat lebih memahami moderenisasi sebagai westernisasi
atau pembangunan fisik, kalau di sana (Yogya) moderenisasi lebih disikapi
hati-hati, bagaimana, akan rusakkah konsep budaya kita, misalnya melepaskan
tradisi kraton, gotong royong, atau menghormati tradisi leluhur, arwah. Kalau
itu tidak sesuai mereka akan mundur, lebih baik mereka akan berputar dulu lalu
sedikit demi sedikit mereka melakukan penyesuaian. Kalau di kita bila ada satu
gebrakan-gebrakan sikapnya ingin cepat beres untuk memenuhi target-target
tertentu. Tapi anehnya terjadi kejanggalan ketika jalan fly over di Kiaracondong, Bandung itu di buat. Apa yang terjadi,
pada hari pertama dibuka, empat orang meninggal dunia ketabrak mobil. Ini ada
jarak budaya yang tidak disosialisasikan dengan benar. Ketika dibuka anak-anak
dan orang tua itu datang untuk lalajo nonton ke bawah, bagaimana Kiaracondong
dilihat dari atas. Bagaimana bisa begini, karena visi moderenisasi pemerintah
tidak dibarengi dengan sosialisasi dan penggunaan perangkat moderen lainnya.
Kita tidak bisa mengesampingkan visi masyarakat urban yang ingin melihat hasil
pembangunan, ini menunjukan tidak adanya pendekatan budaya yang jelas terhadap
moderenisasi. Juga mal, juga SPBU. Nah penyikapan moderenisasi ini tidak
disikapi dengan visi kebudayaan lokal. Jadi Tidak ada pemikiran yang sincronize antara sistem modernisasi
dengan kondisi masyarakat, sehingga ada culturelack, ada kesenjangan budaya.
Kalau di Yogya usahanya bagus sekali, smooth gituh. Coba kantor Pariwisata kita
punya enggak, pemikiran yang komprehensif mengenai bagaimana menyikapi jalan,
pertambahan penduduk, banjir dan sampah. Saya tidak lihat.
Bagaimana Solusinya?
Pada dasarnya sama, kita memliki beberapa perangkat
pemerintahan yang
Ketika hendak membuat regulasi, hendaknya di undang dan
diajak omong itu grassroot, demi
kepentingan masyarakat. Kedua ketika perda-perda itu dibuat, coba perda itu
dibuat tidak langsung diterapkan, dilakukan uji coba-uji coba dan tenggang
waktu tertentu, sehingga ada sosialisasi perda-perda secara baik. Dari sudut
keadilan, hendaknya pemerintah berfikir bahwa masyarakat Jawa Barat tidak
semuanya orang yang punya kendaraan, itu dibagi rata kehadirannya di kota.
Misal pada hari-hari tertentu, kendaraan yang bernomor polisi ganjil tidak
boleh masuk pusat kota, seperti di Perancis, ada regulasi yang bersifat
afirmatif, kebijakan tutup buka, harus ada keleturan-kelenturan regulasi.
Terakhir, adalah law enforcement, karena percuma saja kita ngomong, kalau tidak
ada penegakkan hukum yang jelas, dan dimulai oleh yang punya kuasa.
Bagaimana regulasi akhirnya memberi perlindungan pada
kebudayaan?
Ada undang-undang cagar budaya, baik fisik dan non fisik
seperti kebiasaan, tata cara. Aturannya mah sudah ada. Tapi kembali saya
katakan dalam law emforcemennya dalam kebijakan pemerintah itu seringkali
pemerintah yang melanggar tata aturannya sendiri. Ini yang sulit, seharusnya
ada perlindungan kepada budaya, tapi justru pemerintah sendiri membuat
peraturan itu menjadi impoten. Akibatnya, seperti sekarang ini. Karena
pertanyaannya sejauhmana, maka saya katakan, bahwa peraturan itu sudahada dan
bagus, para pakar budaya juga sudah ikut berpartisipasi, tapi aplikasinya
terbalik, pemerintah yang membuat semua itu jadi rusak, baik secara fisik dan
non fisik. Menurut saya pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM. Karena apa
HAM generasi kedua adalah HAM akan sosial budaya, disini pemerintah harus
bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap regulasi yang mereka buat sendiri
bersama DPRD-nya.*** Hendy Hermawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...