Mukaddimah:
Segala puji hanya bagi
Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keluarga, para sahabat dan pengikut
setia mereka sampai hari kiamat, Amma ba’du:
Allah telah menjaga
pertahanan kaum muslimin dengan mujahidin (orang-orang yang berjihad) dan
menjaga syariat Islam dengan para penuntut ilmu, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin
itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah:122)
Pada ayat tersebut, Allah membagi orang-orang yang beriman menjadi dua
kelompok, mewajibkan kepada salah satunya berjihad fi sabilillah dan kepada
yang lainnya mempelajari ilmu agama. Sehingga tidak berangkat untuk berjihad
semuanya karena hal ini menyebabkan rusaknya syariat dan hilangnya ilmu, dan
tidak pula menuntut ilmu semuanya sehingga orang-orang kafir akan mengalahkan
agama ini. Karena itulah Allah mengangkat derajat kedua kelompok tersebut. (Hilyah al ‘Alim al Mu’allim, Salim al
Hilaliy hl:5-6)
Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang
Allah turunkan kepada Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berupa keterangan
dan petunjuk. Jadi ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, ilmu yang
Allah turunkan saja. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Barangsiapa yang Allah
menghendaki padanya kebaikan maka Dia akan menjadikannya mengerti masalah
agama.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda pula:
“Sesungguhnya para nabi tidak
mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka
barangsiapa mengambilnya berarti ia mengambil nasib (bagian) yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi
adalah ilmu syariat Allah dan bukan yang lainnya. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:11)
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Menuntut ilmu syar’i adalah fardlu kifayah yaitu apabila telah mencukupi
(para penuntut ilmu) maka bagi yang lain hukumnya adalah sunnah, namun bisa
juga menjadi wajib bagi tiap orang atau fardlu ‘ain yaitu ilmu tentang ibadah
atau muamalah yang hendak ia kerjakan. (Kitab al
‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:21)
Penuntut Ilmu Hendaklah Menghiasi Dirinya Dengan Adab-Adab Sebagai Berikut:
Pertama: Mengikhlaskan Niat Hanya Karena Allah
Hendaklah dalam menuntut ilmu niatnya adalah wajah Allah dan kampong
akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Barangsiapa menuntut ilmu-yang
mestinya untuk mencari wajah Allah-, tiadalah ia mempelajarinya melainkan hanya
untuk mendapatkan bagian dari dunia, pasti ia tidak akan mendapatkan bau surga
pada hari kiamat.” (HR. Ahmad
dll). Ini adalah ancaman yang keras. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :25)
Apabila ilmu telah kehilangan niat yang ikhlas; berpindahlah ia dari
ketaatan yang paling afdhal menjadi penyimpangan yang paling rendah.
Diriwayatkan dari Sufyan ats Tsauri rahimahullah berkata: “Tiadalah aku
mengobati sesuatu yang lebih berat dari niatku.”
Dari Umar bin Dzar bahwasanya ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku!
Mengapa orang-orang menangis apabila ayah menasehati mereka, sedang mereka
tidak menangis apabila orang lain yang menasehati mereka?” Ayahnya menjawab:”
Wahai puteraku! Tidak sama ratapan seorang ibu yang ditinggal mati anaknya
dengan ratapan wanita yang dibayar (untuk meratap). (Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 9-10)
Kedua: Memberantas Kebodohan Dirinya dan Orang Lain
Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat untuk memberantas kebodohan dari
dirinya dan dari orang lain, karena pada dasarnya manusia itu jahil (bodoh),
sebagaimana firman Allah:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl:7
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Ilmu itu tiada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” Mereka
bertanya: ”Bagaimanakah hal itu?” Beliau menjawab: “Berniat memberantas
kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” (Kitab al
‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 26-27)
Ketiga : Membela Syariat
Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat membela syariat, karena kitab-kitab
tidak mungkin bisa membela syariat. Tiadalah yang membela syariat melainkan
para pengemban syariat. Disamping itu, bid’ah juga selalu muncul silih berganti
yang ada kalanya belum pernah terjadi pada jaman dahulu dan tidak ada dalam
kitab-kitab sehingga tidak mungkin membela syariat kecuali para penuntut ilmu. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 27-28).
Alangkah banyaknya kitab dan alangkah banyak pula perbedaan didalamnya!
Seorang muslim tidak lagi tahu apa yang harus ia ambil dan apa yang harus ia
tinggalkan? Dari mana memulai dan dimana berakhir! (Wasiyyatu Muwaddi’, Husain Al ‘Awayisyah hal :29-30).
Keempat : Berlapang Dada Dalam Masalah Khilafiyah (Perbedaan Pendapat)
Hendaklah selalu berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang
bersumber dari ijtihad. Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang
berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda. Adapun siapa saja yang
menyelisihi jalan salafush shalih dalam masalah aqidah maka hal ini tidak bisa
diterima dan ditolelir. (Kitab al
‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 28-29) . Baca pula untuk masalah ini
kitab Perpecahan Umat, karya: Dr Nasir al ‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta.
Kelima : Mengamalkan Ilmu atau Zakat Ilmu
Hendaklah para penuntut ilmu mengamalkan ilmunya, baik berupa aqidah,
ibadah, akhlak, adab dan muamalah, karena hal ini adalah merupakan hasil dan
buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu itu seperti pembawa senjata; Bisa berguna
dan bisa pula mencelakakan sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam:
“Al Qur’an itu membelamu atau
mencelakakanmu.” (HR. Muslim)
Membelamu apabila kamu amalkan dan mencelakakanmu apabila tidak kamu
amalkan. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin
hal:32)
Karena keutamaan ilmu itulah ia semakin bertambah dengan banyaknya nafkah
(diamalkan dan diajarkan) dan berkurang apabila kita saying (tidak diamalkan
dan diajarkan) serta yang merusaknya adalah al kitman (menyembunyikan ilmu). (Hiyah Tholibil Ilmi, Bakr Abu Zaid hal
:72)
Keenam : Berdakwah Kepada Allah
Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan
mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)
Hendaklah mendakwahkan ilmunya kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik
di masjid, di majlis-majlis, di pasar dan diberbagai kesempatan. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :37-38).
Ketujuh : Hikmah
Hendaklah menghiasi dirinya dengan hikmah. Apabila kita menempuh cara ini
pastilah kita mendapatkan kebaikan yang sangat banyak, sebagaimana firman
Allah:
“Dan barangsiapa yang
dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang
banyak.” (QS. Al Baqarah:269)
Al Hakim (orang yang bijaksana) adalah orang yang menempatkan sesuatu pada
tempatnya. Allah telah menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah dalam firman-Nya
:
“Serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl:125)
Dan Alla menyebutkan pula tingkatan keempat tentang berdebat dengan ahli
kitab dalam firman-Nya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli
kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
dzalim diantara mereka.” (QS. Al
‘Ankabut:46)
(Kitab al ‘Ilmi, Syaikh
Utsaimin hal:37-3
Kedelapan : Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Hendaklah sabar dalam menuntut ilmu, tidak terputus (ditengah jalan) dan
tidak pula bosan, bahkan terus menerus menuntut ilmu semampunya. Kisah tentang
kesabaran slafush shalih dalam menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bahwa beliau ditanya oleh
seseorang: “Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab: “Dengan
lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak
pernah bosan.” (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin
hal:40 dan 61)
Bahkan sebagian dari mereka (salafus shalih) merasakan sakit yang
menyebabkannya tidak bisa bangun dikarenakan tertinggal satu hadits saja.
Sebagaimana terjadi kepada Syu’bah bin al Hajjaj rahimahullah, ia berkata:
“Ketika aku belajar hadits dan tertinggal (satu hadits) maka akupun menjadi
sakit.”
Barangsiapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah
ia selalu ingin menambah dan mengupayakannya, ia selalu lapar (ilmu) dan tidak
pernah keying sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “ Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar
dan tidak pernah kenyang: orang yang lapar ilmu tidak pernah keying dan orang
yang lapar dunia tidak pernah keying pula.” (HR. Al Hakim dll dengan sanad tsabit)
(Hilyah al ‘Alim al Mu’allim, Syaikh Salim al Hialaliy hal 22-23)
Abu al ‘Aliyah rahimahullah menuturkan:”Kami mendengar riwayat (hadits)
dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang kami berada di Basrah
(Iraq), lalu kamipun tidak puas sehingga kami berangkat ke kota Madinah agar
mendengar dari mulut mereka (para perawinya) secara langsung.” (‘Audah ila as Sunnah, Syaikh Ali Hasan al
Atsariy hal 44).
Kesembilan : Menghormati dan Menghargai Ulama
Hendaklah para penuntut ilmu menghormati dan menghargai para ulama dan berlapang
dada dalam menyikapi perbedaan pendapat diantara mereka serta memberi udzur
(alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah berbuat
kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena sebagian orang
sengaja mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkan mereka dimata
masyarakat. Ini adalah kesalahan terbesar. (Kitab al
‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 41).
Hendaklah menghormati majlis (ilmu) dan menampakkan kesenangan terhadap
pelajaran serta mengambil faedahnya. Apabila seorang syaikh (guru) melakukan
suatu kesalahan atau kekeliruan maka janganlah hal itu membuatnya jatuh
dihadapanmu, karena hal ini menjadikanmu tidak lagi mendapatkan ilmunya.
Siapasih orang yang tidak pernah berbuat kesalahan.?
Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “Perang urat syaraf”,
yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya. Apabila hendak berguru ke orang
lain maka mintalah ijin kepadanya, karena hal ini menjadikannya selalu
menghormatimu, semakin cinta dan saying kepadamu.” (Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hal:36).
Kesepuluh : Memegang Teguh Al Kitab dan As Sunnah
Wajib bagi para penuntut ilmu untuk mengambil ilmu dari sumbernya yang
tidak mungkin seseorang sukses bila tidak memulai darinya, yaitu:
1. Al-Qur’anul Karim;
Wajib bagi para penuntut ilmu untuk berupaya membaca, menghafal, memahami dan
mengamalkannya.
2. As Sunnah As
Shahihah; Ini adalah sumber kedua syariat Islam (setelah Al Qur’an) dan
penjelas al Qur’an Karim.
3. Sumber ketiga adalah ucapan para ulama, janganlah anda menyepelekan
ucapan para ulama karena mereka lebih mantap ilmunya dari anda.
(Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hl :43,44, dan 45)
Kesebelas : At Tatsabbut dan Ats Tsabat
Termasuk adab terpenting yang wajib dimiliki oleh penuntut ilmu adalah; At
Tatsabbut. Yang dimaksud dengan At Tatsabbut adalah berhati-hati dalam menukil
berita dan ketika berbicara.
Adapun ats tsabat adalah sabar dan tabah untuk tidak bosan dan marah, dan
agar tidak mengambil ilmu hanya secuil-secuil saja lalu ia tinggalkan, karena
hal ini berdampak negatif dan menyia-nyiakan waktu tanpa faedah. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hl :50)
Keduabelas : Berupaya Untuk Memahami Maksud Allah dan Rasul-Nya
Termasuk adab terpenting pula adalah masalah pemahaman tentang maksud Allah
dan juga maksud Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam; Karena banyak orang
yang diberi ilmu namun tidak diberi pemahaman. Tidak cukup hanya menghapal al
Qur’an dan hadits saja tanpa memahaminya, jadi harus dipahami maksud Allah dan
Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Alangkah banyaknya penyimpangan yang
dilakukan oleh kaum yang berdalil dengan nash-nash yang tidak sesuai dengan
maksud Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sehingga timbullah
kesesatan karenanya. Kesalahan dalam pemahaman lebih berbahaya dari pada kesalahan
dikarenakan kebodohan. Seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan kesalahan
dikarenakan kebodohannya ia akan segera menyadarinya dan belajar, adapun
seorang yang salah dalam memahami sesuatu ia tidak akan pernah merasa salah dan
bahkan selalu merasa benar. (Kitab al
‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :52)
Inilah sebagian dari adab yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu agar
menjadi suri tauladan yang baik dan mendapatkan kesuksesan di dunia dan di
akhirat, amien.
Maraji’:
Al Qur’anul Karim dan Terjemahannya, hadiah dari kerajaan Saudi Arabia.
Kitab Al Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Hilyah Tholibil Ilmi, karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid
Hilyatul ‘Alim Al Mu’allim Wa Bulghatu Ath Thalib Al Muta’allim, karya
Syaikh Salim bin Ied al Hilaliy
‘Audah ‘Ila As Sunnah, karya Syaikh Ali Hasan al Attsariy
Washiyyatu Muwaddi’, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al ‘Awayisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...