Kemarin, Senin, 20 Februari
2006, di Aula Kampus Universitas Padjadjaran diselenggarakan CERAMAH UMUM PADA
ULANG TAHUN KE-80
Prof (Em.) OTTO SOEMARWOTO
dengan tema PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: ANTARA KONSEP DAN REALITAS
Dalam Pengantar Prof. Otto
Soemarwoto
Sekira ada kekeliruan memahami
pemaparan Prof. Otto, mudah-mudahan ada pihak yang berkesempatan mengoreksi
tulisan ini. Dalam ceramahnya, tokoh yang masih terlihat bersemangat dalam
usianya ini mengawali dengan uraian tentang evolusi persoalan lingkungan hidup.
Pengaruh kehdupan secara global mendorong perkembangan pemikiran tentang wacana
persoalan lingkungan hidup. Sejak diselenggarakannya UN Conference on the Human
Environment di Stokholm, tahun 1972, disadari bahwa persoalan lingkungan hidup
tidak bisa terlepas dari proses pembangunan. Maka dari itu kemudian pada tahun
1983 PBB membentuk World Commission on Environment and Development (WCED). Konferensi yang populer di bidang lingkungan
hidup ini yaitu yang dikenal dengan Konferensi Rio de Janeiro, tahunn 1992,
yaitu UN Conference on Environment and Development. Konferensi yang mengusung
konsep pembangunan berkelanjutan ini dikukuhkan juga dengan World Summit on
Sustainable Development di Johannesburg, tahun 2002. Dengan demikian, dengan terjadinya
evolusi ini dapat dikatakan bahwa persoalan lingkungan hidup tidak berdiri
sendiri, melainkan menjadi bagian terintegrasi dengan pembangunan.
WCED mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.
Syarat yang harus dipenuhi adalah peningkatan potensi produksi dengan ramah lingkungan hidup dan menjamin
terciptanya kesempatan yang merata dan adil. Dalam pembangunan berkelanjutan,
perlu pembangunan ekonomi yang harus dilakukan dengan ramah lingkungan hidup, merata
dan adil. Konferensi Johannesburg menyebutkan tiga pilar pembangunan berkelanjutan,
yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Ketiganya harus diperhatikan secara
berimbang dan terintegrasi.
Sayangnya di Indonesia,
pembangunan tidak sedemikian ideal seperti yang dibicarakan di Konferensi.
Konsep pembangunan tampaknya terpisah dari lingkungan hidup. Sehingga timbul
persepsi bahwa lingkungan hidup berlawanan dengan proses pembangunan. Akibat
dari itu semua, sasaran pertumbuhan ekonomi lebih dominan, dan meminggirkan
lingkungan hidup dan sosial.
Sekilas realitas lingkungan
hidup biogeofisik yang sempat digambarkan di antaranya terdapat lahan kritis
dalam dan luar hutan pada tahun 1969-1973 sekira 12,7 juta ha, dan pada tahun
1999-2000 adalah sekira 23,7 juta ha. Secara langsung ataupun tidak, kondisi
ini turut menyebabkan terjadinya longsor, banjir dan erosi. Beberapa kejadian
longsor terjadi di bohorok, jawa timur, purworejo, cililin, jember,
banjarnegara. Kejadian banjir besar Jakarta menimbulkan kerugian Rp. 15 trilyun
(ketua bappenas). Kejadian akibat erosi di Pulau Jawa saja diperkirakan Rp.500
milyard/tahun (Bank Dunia, 1990). Selain itu terjadi penurunan permukaan air
tanah, infiltrasi air laut dan terjadi hujan asam. Lebih memungkinkan dari itu
semua, pencemaran udara sudah tidak bisa dihindarkan lagi.
Dampak kesehatan atas pencemaran
udara tidak bisa dikecualikan bagi semua orang, semua terkena. Gangguan system
pernafasan yang cukup sering terjadi adalah penyakit asma dan kematian.
Beberapa jenis zat kimia dipercaya dapat berpengaruh terhadap janin dan balita
dengan potensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan otak. Balita dan
anak-anak yang terkena resiko ini akan mengalami kesulitan belajar, nerotik, dan penurunan IQ. Pada perempuan
berpotensi mempengaruhi sistem reproduksi,
daur haid tak teratur, kenaikan risiko keguguran dan kelahiran bayi di
bawah berat normal. Pada laki-laki
dewasa dapat mempengaruhi sistem reproduksi, penurunan kuantitas dan kualitas
sperma, meningkatkan risiko kelahiran bayi cacad, dan risiko erection
dysfunction. Sedangkan pada orang tua dapat mempercepat proses penuaan
atau memperpendek umur .
Realitas lingkungan hidup
sosial-ekonomi sebagai akibat pembangunan yang tidak disertai dengan konsep
berkelanjutan di antaranya adalah terjadinya bentrokan sosial di Maluku, Poso, Papua.
Penyelundupan impor barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, daging,
juga disertai penyelundupan ekspor bayi, TKI, kayu, BBM. Kondisi beberapa
perusahaan yang banyak mem-PHK karyawannya signifikan berpengaruh terhadap
angka pengangguran. Kondisi ini diperparah juga dengan beberapa kasus pembobolan
bank, pendidikan carut-marut. Dengan beberapa kondisi sosial ekonomi tersebut
Indonesia menjadi bahan hujatan dunia internasional sebagai negara sangat korup.
Tidak cukup dengan realitas sosial
ekonomi seperti itu, Indonesia dilengkapi juga dengan realitas
sosial-psikologis masyarakat yang merasa capai, frustasi, saling menyalahkan,
main hakim sendiri, dan putus harapan.
Keprihatinan Prof. Otto tersebut dengan bijak
dikatakan bukan disebabkan semata-mata karena pemerintahan suatu rejim
tertentu. Namun konsep pembangunan tak berkelanjutan ini memang sudah terjadi
sejak tahun 70-an.*
Sekilas Potret Perempuan dan
Anak-anak dalam Lingkungan Hidup
Jika pembangunan berkelanjutan
didefinisikan oleh WCED seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa pembangunan tak
berkelanjutan adalah pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan hidup
generasi mendatang.
Dari ceramah Prof. Otto,
menarik juga keprihatinan secara khusus terhadap kaum perempuan dan anak-anak.
Banyak pandangan yang menyandarkan kualitas suatu bangsa pada kualitas
perempuan. Kualitas pendidikan perempuan akan secara signifikan berpengaruh
terhadap kualitas pendidikan anak-anak. Sejak berupa sebuah janin, hingga
tumbuh kembangnya, anak-anak hampir tidak bisa dilepaskan dari peran perempuan.
Begitupun anak-anak. Kondisi sosiologis, pendidikan, kesehatan, bahkan perilaku
suatu generasi dapat menjadi suatu gambaran bagaimana generasi tersebut kelak
menjadi penggerak suatu bangsa. Tidak jarang kita jumpai ketika seorang anak
sukses, yang pertama kali dipuji adalah kebesaran ayahnya. Namun ketika suatu
saat anak-anak mengalami suatu penyakit, maka yang disoroti adalah hasil
perawatan ibunya atau mendapat masalah
sehubungan dengan perilakunya, itulah hasil pendidikan dan asuhan ibunya.
Betapapun peran perempuan dan
anak-anak begitu penting, kerapkali justru mereka merupakan kaum yang rentan
untuk mendapat perlakuan tidak adil oleh pihak-pihak tertentu bahkan dari
tanggung jawab negara. Perempuan yang menjadi buruh migran telah banyak
menyumbangkan hasil jerih payahnya kepada kas Negara. Namun seberapa besar
kepedulian dan perlindungan Negara ketika mereka mendapat perlakuan kekerasan
dan pelecehan seksual di negeri tempat mereka bekerja.
Ketika kekerasan dalam rumah
tangga terjadi, maka yang paling banyak menjadi korban bisaanya adalah kaum
perempuan. Mereka menahan diri mereka untuk melapor, hanya karena pertimbangan
nasib anak-anak, dan kehormatan rumah tangga, bukan semata-mata yang
diprioritaskan adalah keselamatan diri mereka. Mereka lebih memilih untuk diam
daripada beresiko tidak diberi nafkah yang akan berpengaruh kepada kelangsungan
pendidikan anak-anaknya.
Perempuan, Anak-Anak, Dan
Pencemaran Udara
Bandung adalah salah satu
contoh terbaik bagaimana tingkat pencemaran udara. Udara di Kota Bandung yang
sudah berwarna kecoklatan. Tidaklah mengherankan jika banyak balita di Kota
Bandung mengalami gangguan kesehatan pada paru-paru, apakah karena asma,
bronchitis, atau gangguan saluran pernapasan lain. Udara yang kita hirup di Kota
Bandung hanya separuh dari system pernapasan. Kenaikan BBM turut mendorong
masyarakat beralih dari angkot kepada pemilikan kendaraan bermotor, dan dengan
seperti ini kita tidak bisa pula menghindarkan diri dari bertambahnnya tingkat
pencemaran udara. Maka semakin pekatlah udara yang tetap berputar dalam
cekungan Bandung. Perempuan hamil yang memiliki gangguan pernapasan jelas
beresiko menularkan kepada janinnya. Perempuan yang sedang menyusui atau yang
sehari-harinya mengasuh anak-anak, tidak dapat menghindar untuk tidak beresiko
menularkan penyakit kepada anak-anak.
Perempuan, Anak-Anak, Dan
Pencemaran Air
Air sangat berperan bagi
pemeliharaan organ reproduksi perempuan, terutama ketika sedang haid,
melahirkan, dan masa nifas. Air juga akrab dengan perempuan ketika sedang
berada di dapur. Ketika terjadi masalah dengan air ledeng, kaum perempuan lah
yang bisaanya lebih merasa dirugikan, karena mereka banyak berurusan langsung
dengan air. Anak-anak seolah tidak pernah memusingkan di mana mereka akan
bermain air. Ketika banjir dating, dengan tidak sadar akan resikonya, anak-anak
seringkali bersuka ria menikmati air banjir yang sudah terlarut dengan
benda-benda yang tidak perlu lagi ditebak. Kondisi banjir banyak dimanfaatkan
oleh anak-anak untuk mencari upah dari kendaraan mogok yang mereka dorong.
Akibatnya, tidak heran kalau penyakit kulit potensial lebih banyak dialami oleh
anak-anak.
Perempuan, Anak-Anak, Dan
Kemiskinan
Kondisi ekonomi yang
memprihatinkan banyak mendorong perempuan untuk berperan ganda. Selain beberapa
peran domestic yang tidak bisa ditinggalkan, kaum perempuan terpaksa juga harus
mencari penghasilan. Beberapa perempuan yang penulis temukan, yang bertempat
tinggal berdekatan, terpaksa memberikan salah satu anaknya kepada kerabat
karena tidak sanggup dengan biaya hidup. Tidak usah banyak diceritakan ketika
suatu keluarga dengan sengaja atau terpaksa memberdayakan anak-anaknya untuk
mengemis atau ngamen di jalanan. Jaminan Negara terhadap fakir miskin dan
anak-anak terlantar yang tertuang dalam konstitusi tinggallah wacana di bangku
sekolah.
perempuan, anak-anak, dan
pendidikan
Apalagi yang akan diceritakan
tentang perempuan, anak-anak dan pendidikan? Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
mungkin sedikit dapat membantu sebagian para orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Namun di sisi lain, kesejahteraan guru pun turut berpengaruh kepada kualitas
pengajaran yang diberikan. Tidak usah diperpanjang tentang betapa kapitalisme
telah mengubah paradigma “mencerdaskan bangsa” menjadi “melayani pasar”.
Barangkali system pendidikan juga perlu mempertimbangkan alternative akses
pendidikan bagi anak jalanan lebih ramah.
Perempuan, Anak-Anak, Dan
Pembangunan
Siapa yang paling menikmati
keberadaan pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bandung? Boleh saja dengan target
pertumbuhan ekonomi tempat-tempat tersebut diimpikan dapat membuka lapangan
pekerjaan. Hiruk pikuk Kota Bandung sebagai tujuan wisata belanja, yang setiap
akhir pekannya lebih banyak didominasi oleh kendaraan berplat nomor B,
barangkali tidak pernah serta merta mengundang perhatian para penikmat belanja
itu untuk memikirkan dampak pencemaran udara, kemacetan, dan akibat lainnya. Setiap
tempat perbelanjaan yang dibangun di Bandung seolah tidak pernah berpikir
apakah kelak akan ada pembeli atau tidak. Yang menjadi persoalan bukanlah
orientasi Kota Bandung menjadi Kota wisata belanja atau bukan, namun yang lebih
penting adalah konsistensi setiap pembangunan fisik dengan RTRW, yang disertai
evaluasi berkesinambungan terhadap AMDAL.
Dalam penataan kota, itikad
Pemerintah Kota Bandung untuk lebih konsern terhadap keberadaan taman kota
perlu didukung. Selain itu, perhatian dari masyarakat untuk mengevaluasi perlu
tetap berjalan. Sedikit catatan yang berkaitan dengan penataan kota ini adalah
perlu adanya peningkatan agar keberadaan suatu taman kota memenuhi syarat
sebagai taman kota, bukan sekedar seonggok pemandangan berisi rumput, dan batu
dilindungi pagar besi. Taman Kota dibutuhkan di antaranya sebagai tempat
pemenuhan hak anak untuk bermain dan tumbuh kembang. Bahkan di belahan Negara
Kanada, ukuran prestasi seorang major (setingkat bupati) di antaranya terletak
pada keberadaan taman kota, dari kualitas dan kuantitasnya.
Lingkungan Hidup Perempuan dan
Anak-anak sebagai HAM
Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnnya pasal 9 ayat (3) menempatkan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari pemenuhan hak hidup. Sedangkan hak hidup
adalah hal utama dan pertama dari hak asasi manusia. Secara tegas pasal 4
menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.
Sebenarnya secara khusus
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM ini mengakui perlindungan terhadap
wanita dan anak-anak. Pasal 45 Undang-Undang ini menegaskan pengakuannya
terhadap hak wanita sebagai hak asasi manusia.Lebih lanjut dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengakui bahwa hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Dalam pandangan masyarakat
tradisional, anak-anak dan perempuan masih berada dalam posisi sebagai “benda”
yang bisa dimiliki, bukan semata-mata sebagai kaum yang perlu dilindungi. Maka
tidak heran kalau dalam kasus perdagangan manusia (trafficking) mereka
merupakan objek. Kaum ini adalah sasaran
yang paling mudah terkena dampak dari suatu pembangunan yang kuraang
memperhatikan aspek berkelanjutan.
Perempuan ibarat sebuah
gerbang suatu peradaban. Dari mereka tempat lahirnya suatu generasi yang akan
melanjutkan suatu sejarah manusia. Maka dari itu, hak-hak asasinya perlu
mendapat perhatian yang serius. Begitupun anak-anak. Sebagimana yang
diumpamakan oleh Kahlil Gibran, anak-anak adalah panah ke mana bangsa akan
berjalan. Akan seperti apa suatu bangsa diinginkan kelak akan bergantung kepada
sejauh mana para pemimpin bangsa menyediakan peri kehidupan bagi anak-anak.
Jadilah Pahlawan Bagi Mereka
Bukanlah suatu solusi jika
hanya berpikir siapa “kambing hitam” yang harus terkena tanggung jawab.
Walaupun bukan semata-mata sebuah “slogan” yang baru, perlu gerak semua pihak untuk menjadi elemen-elemen
perbaikan. Beberapa pihak yang setidaknya kita harapkan untuk berperan adalah
berikut:
Politisi, kalangan wakil
rakyat ini sejatinya merepresentasikan konstituennya. Ketika mereka sudah
menjadi anggota legislatif, maka bukan lagi suara partai yang diusung. Selama
ego partai yang tetap dipegang, sibuk sendiri dengan anggaran tunjangan bagi
dirinya sendiri, jangan harap mereka bisa menelurkan regulasi yang berpihak
pada rakyat, khususnya perempuan dan anak-anak. Bagi mereka, kaum perempuan dan
anak-anak hanya menarik untuk dijadikan komoditas kampanye. Sementara mereka
berkampanye, anak-anak pemulung ikut sibuk memungut botol-botol air mineral
untuk dijual.
Pemda, dalam tataran yang
lebih membumi merekalah yang lebih besar peranannya karena akan bersentuhan
langsung dengan masyarakat. Urusan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah begitu besar. Walaupun
Pasal 13 memerinci urusan wajib dan urusan pilihan, namun dalam praktisnya
begitu kompleks.
Pengusaha, pihak yang
senantiasa memiliki kepentingan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap
suatu kebijakan. Walaupun tampaknya mereka modern dan terpelajar, namun
barangkali perlu dipikirkan juga upaya pengayaan bagi mereka pemahaman tentang
hak asasi manusia. Hal ini penting agar setiap kegiatan yang mereka jalankan senantiasa memperhatikan
kelangsungan hidup manusia dan lingkungannya.
LSM, lapisan mayarakat yang
sering diharapkan menjadi wakil non formal rakyat ini perannya sangat besar.
Melalui tangan-tangan mereka rakyat tidak merasa ada sekat sebagai suatu
stratifikasi. Pemberdayaan dan diseminasi pemahaman bagi masyarakat perlu
kreativitas mereka.
Konsep pembangunan
berkelanjutan yang didefinisikan oleh WCED perlu terus menerus
disosialisasikan, agar keberlajutan peradaban manusia tetap ada.**
* Penulis
adalah pengajar tetap Bagian Hukum Tata Negara dan Hukum tentang Hak Asasi
Manusia Pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dan pegiat Jaringan
Relawan Independen (JaRI) Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mulai dari Komentar Sambungkan Silaturahmi...